Konflik Tak Berujung, Relokasi Tahura Murhum


Sabtu,05 Agustus 2017 - 12:29:34 WIB
Konflik Tak Berujung, Relokasi Tahura Murhum Masyarakat Puncak Puunggaloba memasang spandung di pintu masuk Pegunungan Nipa-nipa, Kota Kendari, sebagai bentuk sikap penolakan relokasi warga dari pemukiman mereka.

“Siapa saja yang masuk, diusir, diancam, bahkan ada yang dipanah sampai mati”.

Mendengar kalimat itu dari masyarakat di sini, saya merinding, sedikit ketakutan, tapi tidak kuperlihatkan.Tidak semua orang bisa masuk ke permukiman Puncak Puunggaloba, Pegunungan Nipa-nipa, Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Saya termasuk orang yang beruntung bisa masuk wilayah itu.

“Saya dari Riau, mau liputan tentang kawasan Puncak Puunggaloba,” kataku kepada salah warga di sini. Tatapan aneh justru saya terima dari pria yang mengenakan peci haji putih itu. Tanpa ada jawaban.

Tarik nafas satu satu, kelelahan karena mendaki sedikitnya 500 meter menuju Puncak Puungguloba. Tak lama kemudian, saya dikerumuni puluhan warga. Ada remaja, dewasa, bapak, ibu, sampai anak kecil. Seperti saya mau diserang. Saya takut, tapi tidak kuperlihatkan.

Salah seorang pemuda tiba-tiba saja datang menghampiriku. Dengan nada lantang ia berkata, “Anda sekarang harus menghadap Jenderal.”

“Apalagi ini? Dan, siapa Jenderal?” Jantungku berdegup, hati berkata cemas karena aku bukan orang asli Kota Kendari. Sempat terbesit dalam pikiranku, nyawaku akan berakhir di liputan ini. Saya semakin takut, tapi lagi-lagi tidak kuperlihatkan.

Seperti di kawasan kerajaan yang memiliki pengamanan ketat oleh penggawa-penggawa garang. Aku dituntun dan diikuti puluhan warga di belakangku. Di sebuah halaman rumah papan dan ada satu kursi plastik di bawah pohon. Terlihat seseorang sudah duduk di kursi di depan kursi kosong itu. “Kalau mau tahu tentang Puncak Puunggaloba, tanyakan saja pada Jenderal kami ini,” kata pemuda tadi kepadaku.

Dan, ternyata dia itu Sang Jenderal yang dimaksud. Biasa-biasa saja, tanpa berpakaian militer seperti jenderal yang saya bayangkan. Dengan wajah beringas, dia mempersilakan saya duduk di kursi kosong itu.

“Anda sudah aman di sini. Saya jamin kulit Anda tidak akan tersentuh sedikitpun oleh warga. Anda dari mana dan apa maksud kedatangan Anda di sini,” tanyaLa Ode Budiman, Jenderal Lapangan Forum Masyarakat Puncak Puunggaloba di kediamannya.

Kawasan ini persisnya di Kecamatan Kendari Barat, Kota Kendari, Provinsi Sultra. Di bukit-bukit tidak jauh dari tengah Kota Kendari. Akses menuju Puncak Puunggaloba tidak gampang, jalannya buruk, belum diaspal dan disemen, mendaki tinggi, dan butuh tenaga ekstra bagi pejalan kaki untuk memasuki wilayah yang dimukimi oleh 221 kepala keluarga (KK).

Mereka paranoid, setiap orang asing yang datang, dianggap sebagai orang suruhan dari Pemerintah Daerah Provinsi Sultra. Mereka dianggap sebagai penduduk “ilegal” karena tinggal di Kawasan Konservasi Taman Hutan Rakyat (Tahura) Murhum di Pegunungan Nipa-nipa.

Ironisnya lagi, puncak kemarahan mereka, ketika beberapa tahun lalu, Gubernur Provinsi Sultra, Nur Alam, mendesak seluruh warga Puncak Puunggaloba untuk segera mengosongkan kawasan yang mereka tempati dalam waktu sepekan. Gubernur sudah menyiapkan permukiman khusus untuk mereka.

Menurut Gubernur Provinsi Sultra, Nur Alam, pihaknya mengklaim, masyarakat yang tinggal di Puncak Puunggaloba melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi dan Sumber Daya Alam, PP Nomor 28 Tahun 2011 dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

“Puncak Puunggaloba merupakan Kawasan Konservasi Tahura Murhum, bukan daerah permukiman. Masyarakat Puncak Puunggaloba dinilai telah melanggar peraturan perundang-undangan,” tegasnya di Kota Kendari.

Selain itu, katanya, aktivitas warga di Kawasan Tahura Murhum dapat mengancam keselamatan masyarakat Kota Kendari. Dengan adanya alih fungsi kawasan hutan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan hayati lingkungan hidup, sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

Pemerintah mewacanakan merelokasi masyarakat Puncak Puunggaloba ke kawasan jauh dari asal tempat mereka. Wacana untuk mengembalikan fungsi kawasan tesebut sebagai Tahura merupakan dasar merelokasi. Dan akan menanam kembali pohon-pohon di sebahagian wilayah yang sudah dijadikan permukiman warga.

Dari hasil pengamatan, sekeliling dari permukiman warga Puncak Puunggaloba masih lebat hutan alam. Bila menghadap ke arah turunan tebing, pandangan lurus ke depan terlihat panorama Teluk Kendari nan cantik. Mata takjub melihat air laut biru melintang berpadu pecahan sinar matahari, dipercantik dengan bukit-bukit menjulang di seberangnya. Hijau dan ingin menetap terus menyaksikan “surga kecil” ini.

Bagi masyarakat, rencana relokasi mereka bukan karena Kawasan Konservasi Tahura, melainkan ada isu yang berkembang, kawasan tersebut akan dialihfungsikan untuk dibangun villa-villa atau resort oleh investor. “Kampung ini akan dijual pemerintah ke orang kaya,” sindir salah seorang dari belakang saya, saya tidak menolehnya.

“Semuanya bubar!” tegas Jenderal kelahiran 1980 dengan paras wajah bagi saya dia sangat beringas. Masyarakat di belakang saya bubar. Saya dijamin Jenderal tak akan terlepas sehelai rambut pun bila saat itu ia memerintahkan warga untuk tidak menyakiti saya.

 

Kawasan Konservasi Tahura

Sepertinya kasus ini menarik untuk diperbincangkan. Saya coba bincangkan persoalan ini dengan Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Provinsi Sultra, Kisran Mangkati. Menurutnya, Puncak Puunggaloba di Pegunungan Nipa-nipa dan sekitarnya memang Kawasan Konservasi Tahura Murhum.

“Memang kawasan tersebut merupakan Kawasan Konservasi Tahura dan harus segera dinormalisasikan. Cuma cara pemerintah daerah untuk merelokasi dan mengosongkan kawasan tersebut harus manusiawi. Jangan sampai ada upaya paksa sehingga masyarakat marah,” harap Kisran Mangkati, saat dihubungi melalui telepon selularnya, Jumat (30/07/2017).

Ia tidak banyak komentar menyikapi persoalan ini. Cuma Kisran menyarankan kepada pemerintah daerah untuk lebih arif dalam mengeluarkan kebijakan. Ketika masyarakat direlokasi, setidaknya mereka diberikan tempat tinggal yang lebih layak dari saat ini. “Kalau sekadar memindahkan, itu persoalan gampang. Cuma yang harus dipikirkan juga adalah kelangsungan hidup mereka yang lebih baik dari sebelumnya,” ujarnya.

Persoalan serupa juga dikomentari Pengamat Lingkungan untuk Perubahan Iklim, Universitas Halu Oleo Kota Kendari, Alamsyah Flamin, S.Hut, MP. Ia memang sepakat, kalau Puncak Puunggaloba dan sekitarnya harus segera dinormalisasikan, karena merupakan Kawasan Konservasi Tahura. Kalau dinyatakan sebagai kawasan konservasi, daerah tersebut tidak dibenarkan ada aktivitas manusia, baik permukiman, mengambil, merusak, atau mengelola hutan tersebut.

“Kalau namanya kawasan konservasi, kawasannya harus dikelola dan menjamin pemanfaatannya secara bijaksana. Lalu, harus berkesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya,” papar Alamsyah saat dijumpai di Universitas Halu Oleo, Kota Kendari, Selasa, (01/08/2017).

Katanya, sudah seharusnya kawasan tersebut dikembalikan ke fungsi awalnya. Kalau tidak segera dikembalikan sebagai kawasan konservasi, dan apabila terus hutannya dirusak, maka akan pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu kegiatan manusia.

“Kalau dibiarkan semakin lama, bisa berdampak buruk bagi daerah tersebut, terutama longsor dan banjir. Makanya segera carikan solusi,” tegasnya.

Alamsyah mengakui, ada perselisihan antara pemerintah daerah dengan masyarakat Puncak Puunggaloba yang timbul dari kegiatan yang berpotensi dan atau berdampak pada lingkungan hidup. Menurutnya, persoalan ini harus segera dicarikan solusi, kalau tidak justru akan memperkeruh suasana.

 

“Kami Sudah Puluhan Tahun Tinggal di Sini”

Sebahagian besar warga Puncak Puunggaloba adalah Suku Asli Muna, salah satu suku besar di Sultra. Suku Muna terkenal memiliki karakter keras. Sampai-sampai pemerintah daerah beserta pihak kepolisan dan TNI dilibatkan untuk mengajak mereka direlokasi, masyarakat menolak keras dan nekad menentang dan menghadang untuk dipindahkan dari tempat tinggalnnya.

Di gerbang bahagian depan masuk Puncak Puunggaloba, masyarakat bentangkan spanduk 1x3 meter yang bertuliskan, “Kami menolak keras direlokasi”. Setiap orang asing yang masuk di kawasan itu, mereka menghadang dan menanyakan maksud dan tujuan kedatangan. Dan tak segan-segan mencederai.

Ditawarkan relokasi oleh pemerintah daerah, justru mereka melontarkan sikap ekstrem bertekad menolak kebijakan Gubernur Nur Alam. Mereka mengancam, bila tetap direlokasi, nyawa pun taruhannya mereka siap.

“Kami jaga kampung kami 24 jam. Kami siap perang dengan siapa saja yang berusaha memaksa kami untuk pindah dari tanah kelahiran kami,” tegas La Ode Budiman, Jenderal Lapangan Forum Masyarakat Puncak Puunggaloba.

Pandangan La Ode Budiman, mereka sudah puluhan tahun dan turun temurun tinggal di Puncak Puunggaloba. Bahkan, dibuktikan terdapat pemakaman di wilayah itu sebagai tanda mereka sudah lama menetap. Dasar hukum yang menyatakan Puncak Puunggaloba merupakan Kawasan Konservasi Tahura, menurut La Ode, dirinya tidak menemukan pasal-pasal dasar hukumnya.

“Lucunya lagi, kalau kami dianggap ilegal di sini, kenapa kami diberikan KTP, dipungut retribusi kebersihan, bantuan-bantuan sosial seperti raskin dan kesehatan, dipungut pajak bumi dan bangunan, bahkan kami diberikan hak politik untuk pemilihan kepala daerah,” sindir La Ode sambil tersenyum sinis.  

Dirinya menyatakan, kalau seluruh masyarakat Puncak Puunggaloba tidak pernah merusak hutan sebagai unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya hayati dan non-hayati yang secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem. “Kami tidak pernah menebangi hutan di kawasan ini, justru kami menjaganya,” tegas pria 35 tahun ini.

Dirinya beranggapan, kalau pemerintah daerah gagal berkomunikasi baik dengan masyarakat Puncak Puunggaloba. “Kami orangnya terbuka, akibat sikap pemerintah daerah yang arogan, makanya kami memilih sikap brutal untuk menolak direlokasi,” ujarnya dengan nada tinggi.

Dirinya beserta seluruh masyarakat Puncak Puunggaloba sudah komitmen, kalau mereka tidak bersedia direlokasi, walaupun diberikan janji-janji manis kepada mereka untuk diberikan tempat yang lebih nyaman. “Kami jaga 24 jam daerah kami. Sekali lagi, saya sampaikan, kami siap pertaruhkan nyawa kami untuk mempertahankan daerah kami,” janji La Ode Budiman sambil mengacungkan jari telunjuknya ke saya.

Persoalan ini terus berlanjut. Hingga berita ini ditulis, warga Puncak Puunggaloba tetap enggan direlokasi dan pemerintah daerah tetap menyerukan agar masyarakat Puncak Puunggaloba segera direlokasi untuk normalisasi menjadi Tahura seutuhnya.

Sampai kapan persoalan ini tuntas? Apakah sampai hutan di Pegunungan Nipa-nipa habis akibat meluasnya permukiman? Atau sampai tumpah darah terjadi akibat upaya paksa relokasi dilakukan demi mempertahankan status Kawasan Konservasi Tahura Murhum?

Bagiku, harus ada solusi cepat untuk mengatasi persoalan ini. Dan tetap kurindu ingin datang lagi menyaksikan “surga kecil” Teluk Kendari dari lereng Pegunungan Nipa-nipa ini. Dan aku pun pulang ke rumah dengan selamat. (***)

Parlindungan | 3180

Keterangan foto:

Masyarakat Puncak Puunggaloba memasang spandung di pintu masuk Pegunungan Nipa-nipa, Kota Kendari, sebagai bentuk sikap penolakan relokasi warga dari pemukiman mereka.


Akses riaubisnis.co Via Mobile m.riaubisnis.co
TULIS KOMENTAR
BERITA LAINNYA

KANTOR PUSAT:
Jl. Arifin Ahmad/Paus Ujung (Komp. Embun Pagi), B 13, Pekanbaru, Riau – Indonesia
CP : 0812 6812 3180 | 0853 7524 1980
Email: [email protected]