Mengembalikan Kejayaan Industri Batam


Minggu,29 April 2018 - 19:50:09 WIB
Mengembalikan Kejayaan Industri Batam (foto: int)

Batam membutuhkan penanganan terstruktur untuk mengembalikan peruntukannya sebagai kawasan industri unggulan. Kota yang didesain sebagai kota industri sejak awal pembentukan pada 1970 ini diharapkan tidak kehilangan identitasnya.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, saat menjawab pertanyaan bagaimana membangun kembali ekonomi Batam pada pertengahan April 2018, menjelaskan bahwa Batam tidak hanya butuh investasi lebih besar, tetapi juga perbaikan sumber daya manusia.

Airlangga menyebutkan pihaknya telah mendapatkan komitmen dari pemerintah Singapura untuk menjadikan Batam sebagai basis produksi. Pemerintah terus melakukan promosi untuk Batam guna meningkatkan investasi.

“Keluhannya investor terkait Batam, inkonsistensi regulasi. Kalau persoalan ini selesai, mereka [Singapura] akan bantu promosikan ke investor,” kata Airlangga.

Batam merupakan wilayah strategis karena berada di sisi Selat Malaka. Selat ini merupakan jalur utama pelayaran dari Timur ke Barat dan menjadi salah satu jalur tersibuk di dunia untuk perniagaan. Wilayah ini juga berbatasan langsung dengan Singapura dan Malaysia yang menjadi hub untuk perdagangan lintas negara.

Batam awalnya merupakan pulau relatif kosong. Pada 1970 , Batam mulai dikembangkan sebagai basis logistik dan operasional untuk industri minyak dan gas bumi oleh Pertamina. Lalu dengan Kepres No.41/1973 pemerintah membentuk gugus tugas khusus mengembangkan Batam dengan nama Otorita Pengembangan dan Pengusahaan Batam (BP Batam).

Pemerintah kemudian menempatkan area bebas pajak dan pungutan (free trade zone) yang kemudian menjadi keunggulan Batam melalui Undang-undang No.36/2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Seiring dengan berlakunya Masyarakat Ekonomi Asean maupun perjanjian tarif bilateral antara Indonesia dengan sejumlah negara, keunggulan Batam, Kepulauan Riau menjadi tidak lagi optimal karena investor tidak harus ke Batam untuk memperoleh insentif dan kemudahan fiskal.

Batam pun terkena imbas. Bank Indonesia bahkan memperkirakan pertumbuhan ekonomi Kepulauan Riau pada 2018 hanya 2,7% hingga 3,1%. Angka ini jauh di bawah estimasi pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 5,4% pada tahun ini. Bank Indonesia mencatat, pelemahan ekonomi telah terlihat semenjak 2016. Perlambatan ini disebabkan oleh melemahnya sektor-sektor utama, yakni pengolahan, pertambangan dan konstruksi.

Dari sisi investasi, Bank Indonesia mencatat pertumbuhan berada di bawah rata-rata nasional. Realisasi investasi di wilayah ini hanya tumbuh 2,44% pada 2016 dan 3,13% pada tahun lalu. Laporan ini juga mencatat meski sempat minus pada 2016, eskpor Kepulauan Riau mulai membaik dengan kenaikan 6,7% pada tahun lalu.

Upah Sektoral

Sementara itu dalam kesempatan terpisah kalangan pengusaha mengeluhkan desakan pemberlakuan upah sektoral yang dilakukan melalui pengerahan massa. OK Simatupang, Ketua Koordinator Himpunan Kawasan Industri Kepri dan Wakil Ketua Komite Tetap Pengembangan Kawasan Berikat dan Kawasan Perdagangan Bebas Kadin Indonesia, menyatakan sejumlah investor besar memilih hengkang dari Batam sejak 2010. Salah satu penyebabnya adalah karena iklim investasi yang tidak kondusif.

Kemunduran investasi semakin kuat ketika adanya demo-demo yang mendesak kenaikan upah hingga 45% pada 2013 dari Rp1,4 juta menjadi Rp2 juta. “Kemudian negara –negara saingan Batam seperti Vietnam, Laos, Myanmar, Pilipina, Kamboja dan Malaysia gencar-gencarnya membuka kawasan industri dengan menawarkan insentif yang tiap tahun semakin menarik dan investor asing senang,” katanya.  

Menurut data, berita dilansir bisnis.com ini, yang dimiliki asosiasi, upah di negara-negara tersebut saat ini lebih kompetitif daripada di Batam. Upah Minimum Kota (UMK) Batam ditetapkan sebesar Rp3,5 juta.

“Misalnya di Malaysia Rp3,5 juta, Laos sebesar Rp2 juta,Vietnam Rp2,4 juta, Myamar Rp1,5 juta, Filipina Rp2,5 juta, dan Kamboja Rp2,15 juta. Negara-negara tersebut menerapkan sistim kerja 48 jam per minggu sedangkan kita dengan sistim 40 jam per minggu,” katanya.

Dia menambahkan perusahaan asing yang beroperasi di Batam ini juga memiliki pabrik dengan bidang usaha yang sejenis di negara-negara ini. “Artinya apa? Hanya plant manufacture yang produktif sajalah yang akan dipertahankan atau dikembangkan oleh perusahaan induknya. Bagaimana nasib perusahaan yang sudah tidak produktif lagi? Secara perlahan-lahan, mereka akan memindahkan operasionalnya ke negara-negara yang menurut mereka lebih kondusif, produktif dan nyaman untuk berinvestasi,” katanya.  

Pebisnis berharap semua pihak menghormati aturan yang berlaku, termasuk penetapan upah sektoral ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara dunia usaha dengan pekerja. Penegasan berdasarkan PP 78/2015 pasal 49 ayat 1. Di beleid ini disebutkan bahwa gubernur dapat menetapkan upah minimum sektoral provinsi atau kota/kabupaten berdasarkan hasil kesepakatan asosiasi pengusaha dengan serikat pekerja/buruh pada sektor yang bersangkutan.

Menurut dia, kepatuhan terhadap regulasi merupakan kunci agar Batam makin maju. Apalagi pemerintah menargetkan pertumbuhan wilayah ini dapat mencapai 7% pada 2019.(*)


Akses riaubisnis.co Via Mobile m.riaubisnis.co
TULIS KOMENTAR
BERITA LAINNYA

KANTOR PUSAT:
Jl. Arifin Ahmad/Paus Ujung (Komp. Embun Pagi), B 13, Pekanbaru, Riau – Indonesia
CP : 0812 6812 3180 | 0853 7524 1980
Email: [email protected]