Abrasi di Kepulauan Meranti, Pulau Terluar Indonesia

“Terkikis Sudah Kampung Halaman Kami”

Senin,30 April 2018 - 15:08:39 wib
“Terkikis Sudah Kampung Halaman Kami”
Salah satu tepian pantai akibat dahsyatnya abrasi di Kecamatan Rangsang Pesisir, Kabupaten Kepulauan Meranti. (foto: Parlindungan)

Oleh Parlindungan

(Jurnalis & Pemimpin Redaksi www.RiauBisnis.id)

 

“Sebeghang jauh itu dulu kampong halaman kami. Sekaghang dah jadi pantai. Habis dah semuo. Kami pun tinggal di tengah pulou ini lagi. (Seberang jauh itu dulu kampung halaman kami. Sekarang sudah jadi pantai. Habis sudah semua. Kami pun tinggal di tengah pulau ini lagi),” kata Ahmad Zaini berbahasa Melayu Riau, warga Kecamatan Pulau Merbau, Kabupaten Kepulauan Meranti, kepada RiauBisnis baru-baru ini.

Ia menyayangkan, tentang kondisi kampung halamannya di Desa Pangkalan Balai, sudah belasan tahun mengalami abrasi dahsyat. Akibat abrasi, warga Desa Pangkalan Balai, dulu berada di seberang jauh di tepi pantai Pulau Merbau tersebut. Sedikitnya 200 meter dari tepian pulau. Akibatnya, puluhan kepala keluarga memilih bermukim di tengah pulau yang belum terkena abrasi.

Sambil terduduk jongkok di tepi pantai, Ahmad Zaini menatap kosong tepian pantai di sekelilingnya. Di hadapannya, berdiri sisa pancang kayu bekas rumah-rumah warga, ada perahu kayu nelayan yang miring tenggelam dan tak terpakai lagi, ada beberapa batang pohon tumbang bersama akarnya di atas pasir pantai cokelat kehitam-hitaman.

Sesekali suara ombak menerpa tepian pantai, kulihat Ahmad Zaini sedih, matanya berkaca-kaca. “Di sanelah saye lahe. Di sane pule kami mencaghi ikan. Sekaghang kami haghus mencaghi keje laen, keghena laot dah jaoh daghi dese kami. (Di sanalah, seberang pantai itu saya lahir. Di sana pula kami mencari ikan. Sekarang kami harus mencari pekerjaan lain, karena laut sudah jauh dari desa kami),” ujar Zaini sesekali menatap saya.

Ahmad Zaini sudah lama tidak menjadi nelayan. Sejak kampungnya rata habis terkikis abrasi. Selain itu juga karena laut tempat banyak ikan, jauh nun di sana. Ia memilih menjadi pengakik (mengikis getah karet) kebun karet milik sahabatnya di tengah pulau yang juga tinggal menunggu waktu terkena dampak abrasi.  

Kata Zaini, tiap tahun tepian laut di desanya menipis diterjang abrasi sekitar 8-12 meter. Kalau tidak segera diantisipasi, Zaini khawatir, pulau tempat ia bermukim akan tinggal kenangan, habis rata dengan lautan seiring waktu ke waktu.

“Kami meminte pade pemeghintah, supaye di tepi-tepi pulau dibuatkan tanggul atau batu-batu pemecah ombak, supaye pulau kami tak mengecik. (Kami meminta kepada pemerintah, supaya di tepi-tepi pulau dibuatkan tanggul atau batu-batu pemecah ombak, supaya pulau kami tidak semakin mengecil),” pinta pria usia 56 tahun ini.

Menuju ke Kecamatan Pulau Merbau, dari Kota Selatpanjang, Ibukota Kabupaten kepulauan Meranti, menaiki jasa angkutan laut berupa speedboad, jaraknya sekitar 35 menit dari Kota Selatpanjang. Dari pusat Kecamatan Pulau Merbau ke Desa Pangkalan Balai, harus menggunakan sepeda motor dengan melewati jalan jelek selebar dua meter, berlobang, lumpur-lumpur akibat genangan air, kiri dan kanan jalan semak-semak tinggi.

Empat desa di kecamatan ini berhadapan langsung dengan Selat Malaka dan perbatasan bersama negara Malaysia dan Singapura, yakni Desa Kuala Merbau, Centai, Tanjung Bunga, dan Desa Pangkalan Balai. Semua desa ini mengalami hal serupa seperti yang dialami Desa Pangkalan Balai. Letak geografis, Pulau Merbau adalah salah satu dari banyak pulau terluar di Indonesia.

Akibat dampak abrasi, bisa saja suatu saat pulau ini akan hilang “ditelan” lautan berwarna cokelat itu, dan mungkin dapat terjadi pula, kawasan telah terjadi abrasi diklaim oleh negara tetangga sebagai wilayah hukumnya.

Karena Kabupaten Kepulauan Meranti dikelilingi lautan, persoalan abrasi tampaknya menjadi tantangan tersendiri, termasuk di Kecamatan Rangsang Pesisir. Kecamatan ini bersebrangan langsung dengan Kota Selatpanjang. Menyebrang ke kecamatan ini cukup menggunakan perahu mesin. Perahu mesin ini mereka menyebutnya “kempang”.

Saya melihat abrasi terparah di kecamatan ini, tepatnya di Desa Tanah Merah. Menuju ke desa ini, dari perhentian penyebrangan, membutuhkan jarak waktu tempuh sekitar dua jam dengan menggunakan sepeda motor. Akses jalan sangat buruk, belum diaspal dan disemenisasi.

Tepian pantai merekah, roboh. Banyak pohon tumbang bersama akarnya ke arah aku memandang. Di depan pasir pantai menjorok luas tak berujung seperti pantai lepas. Ada beberapa perahu nelayan di atas pasir bibir pantai yang tak digunakan nelayan, seperti perahu terdampar. Karena lautnya jauh, tak mampu mendorong perahu ke air laut, mereka malas menelayan.

“Di pantai ini, abrasinya sangat mengkhawatirkan. Minimal delapan meter menjorok ke pulau tiap tahunnya. Tidak saja pulau ini semakin mengecil, kondisi pertanian di desa kami juga mengalami dampak negatif akibat abrasi,” keluh Kepala Desa Tanah Merah, Kecamatan Rangsang Pesisir, Abdul Rahman.

Kata Abdul Rahman, persoalan abrasi, terutama di desanya, seyogyannya harus ditangani serta dicarikan solusi efektif agar kondisinya tidak semakin parah. Terutama kepada perhatian penuh pemerintah pusat. Menurutnya, selain semakin mengecilnya pulau akibat terkikis ombak laut, pulau ini juga sebagai bukti batas wilayah Indonesia yang harus tetap dipertahankan.

“Kita harus jaga tanah kita, agar tidak diklaim oleh negara tetangga sebagai wilayahnya. Ironisnya, akibat abrasi ini, tiap tahunnya diperkirakan pulau ini terkikis minimal 8 sampai 12 meter, terutama di Desa Tanah Merah,” sindirnya.

Diakuinya, butuh penanganan serius untuk persoalan yang satu ini. Agar tidak terlalu menjoroknya garis pantai dari kedudukan semula, Abdul Rahman menawarkan solusi, dibutuhkan sarana pemecah ombak di bibir-bibir pantai. “Pemerintah pusat dan daerah harus memberikan perhatian khusus kepada kondisi desa kami,” pintanya.

Dampak Abrasi Buat Lesu Hasil Perkebunan

Dampak abrasi tidak saja mengikis sejumlah pulau-pulau di Kabupaten Kepulauan Meranti. Namun, juga berdampak pada gagal panennya hasil pertanian dan perkebunan warga. Akibat tidak adanya penopang luapan air asin laut ke darat, berdampak pada tanaman yang ditanam di perkebunan warga menjadi mati dan gagal panen. Ternyata air asin laut yang membuat tidak dapat menumbuhkembangkan tanaman di perkebunan warga.  

Sebahagian besar warga berkebun menanam padi, kopi, kelapa, sagu, dan karet. Seperti yang disampaikan Syahro, petani padi di Desa Tanjung Medang, Kecamatan Rangsang. Syahro menanam bibit padinya di tanah gersang atau bukan di lahan khusus yang layak ditanami padi. Namun hasil padinya pun tetap memiliki nilai. Petani di sini menyebutnya “padi korea”.

Seiring waktu, karena ia menanam padi di pulau yang terkena dampak abrasi, hasil pertaniannnya hanyut bersama impiannya. Perjuangannya sia-sia di kala air laut meluap pada saat musim pasang tak menentu. Berharap bisa mendapat keuntungan dari hasil penjualan padinya, ternyata hanya “isapan jempol” belaka.

“Saya sudah membuat tanggul dan kanal-kanal di tepian pantai. Ternyata tanggul dan kanal yang saya buat tidak mampu menghalangi air laut masuk ke kebun saya. Ya, gagal panen lagilah saya,” kata Syahro, seorang perantauan asal Jawa Tengah dengan logat medoknya.

Ia bersama warga lainnya di Desa Tanjung Medang rasakan gagal panen padi beberapa tahun belakangan ini. Sekitar sepuluh tahun lalu, ia tidak pernah gagal panen seperti ini. Desa Tanjung Medang yang berhadapan dengan Selat Malaka memang menjadi daerah rawan abrasi.

“Yang menjadi penghalang kami bertani untuk berkembang lagi, adalah karena tidak adanya tanggul permanen yang dapat menghalau air laut jika air pasang. Supaya air laut enggak meluap ke kebun, kami berharap ada tanggul permanen yang kuat di tepi pantai,” pinta pria paruh baya ini.

Di kecamatan lain, para petani kopi juga mengalami hal serupa. Seperti yang diutarakan Basir, seorang petani kopi sempian. Di Desa Sempian, Kecamatan Rangsang Pesisir tempat Basir berladang kopi, penghasilannya sudah tidak secermelang belasan tahun lalu.

“Kopi sempian dulu sangat terkenal sekali di Asia. Bahkan, di Malaysia dan Singapura, warganya yang ingin minum kopi, selalu meminta kopi sempian. Kopi sempian ini asalnya, ya dari Desa Sempian inilah,” ujar Basir sambil mengantarkan saya ke gudang penggilingan kopi miliknya.

Akibat sering terjadi luapan air laut ke kebun kopi miliknya, ia tidak bisa memanen kopi berkualitas sebaik belasan tahun lalu. Lalu, ia juga tidak sering menggunakan alat penggilingan kopi miliknya karena sedikitnya hasil panen.

Kopi asal Desa Sempian diakui memiliki rasa yang khas. Konon, kopi asal Desa Sempian cukup dikenal di sejumlah negara di Asia. Dikhawatirkan, lambat laun tidak akan sefamiliar dulu. Sebab, sebahagian besar petaninya sudah enggan bertani akibat kerap naiknya air laut ke lahan-lahan pertanian. Tentunya, dibutuhkan perhatian serius mengatasi persoalan ini, agar kopi sempian bisa tetap terkenal sepanjang masa.

Selain hasil pertanian yang menurun, di sebahagian besar warga di Kecamatan Rangsang Pesisir, terutama Desa Telesung, persoalan abrasi menjadi “momok” yang menakutkan, karena masyarakatnya tinggal di tepi pantai.

“Belasan tahun abrasi ini sudah terjadi, dan banyak rumah warga yang sudah rubuh akibat terjangan abrasi yang datang kapan saja ia mau,” kata Kepala Urusan Kantor Desa Telesung, Kecamatan Rangsang Pesisir, Syafri.

Begitu juga yang dialami Desa Selat Akar, Kecamatan Tasik Putri Puyu. Sebahagian besar warga di desa ini adalah Suku Akit. Kebanyakan warga di sini adalah bertani. Hasil pertaniannya tidak sesuai harapan akibat tanaman mereka mati akibat luapan air asin laut.

Bantuan Pemda Belum Maksimal

Menyinggung soal usaha yang dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulaun Meranti dalam membantu daerah perbatasan ini dari bencana abrasi, masa keberadaan Badan Pengelola Perbatasan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti, telah memberikan bantuan berupa pengadaan pembuatan benteng nibung penahan gelombang sepanjang 420 meter di Desa Telesung, Kecamatan Rangsang Pesisir pada tahun 2013 lalu.

“Diakui belum maksimal upaya yang dilakukan pemerintah daerah akibat keterbatasan dana yang dimiliki. Namun, kita juga berharap kepada pemerintah pusat untuk turut serta membantu persoalan ini, agar abrasi tidak semakin parah,” harap Kepala Bagian Pengelolaan Perbatasan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti, Efialdi.

Mangrove Hilang, Abrasi pun Datang

Dari hasil pengamatan yang saya lakukan di desa-desa yang terkena abrasi di Kepulauan Meranti, abrasi muncul diakibatkan hutan/pohon-pohon mangrove atau yang dikenal “hutan bakau” sudah tidak terlihat di tepi-tepi pantai terkena abrasi.

Diduga, akibat besarnya pendapatan dari penjualan kayu bakau, warga yang tidak bertanggungjawab menebanginya untuk kemudian dijual di kilang-kilang arang kayu bakau. Diakui, terdapat sejumlah kilang arang kayu bakau di Kabupaten Kepulauan Meranti. Seperti kilang kayu arang bakau yang saya kunjungi di Kecamatan Pulau Merbau. Hasil produksinya cukup besar, sehingga setiap harinya dibutuhkan kayu bakau mentah secara kontinue untuk didistribusikan ke konsumen.   

Tentunya ini salah satu penyebab abrasi muncul di pulau-pulau di Kabupaten Kepulauan Meranti. Kalau hutan bakau terus ditebangi, lalu masyarakat pelaku penebang hutan bakau dan keberadaan kilang arang kayu bakau tidak sama-sama bertanggungjawab, kemudian siapa yang harus bertanggungjawab rusaknya pulau? Lalu siapa merasakan dampak negatifnya akibat abrasi? Sementara kasus penebangan hutan bakau hingga saat ini masih tetap berlangsung.

Berdasarkan data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kepulauan Meranti, jumlah pengolahan arang (panglong) kayu bakau mencapai 55 unit dengan 220 tungku tersebar di Kecamatan Tebing Tinggi, Kecamatan Rangsang, Kecamatan Pulau Padang, dan Kecamatan Merbau. Sementara luas hutan bakau di Kabupaten Kepulauan Meranti mencapai 25 ribu hektare. Sebanyak 18.300 hektare di antranya sudah didaftarkan sebagai ‘Hutan Tanaman Rakyat (HTR)’.

Jika diasumsikan sekali produksi per tungku 20 ton kayu bakau, maka dalam waktu dua bulan sebanyak 4.400 ton kayu bakau menjadi arang. Dengan penyerapan tenaga kerja di masing-masing panglong 5-7 orang per tungku dan membutuhkan 10-20 buruh. 

Terkait dengan harga kayu bakau, salah satu warga penjual kayu bakau sangat tidak sebanding dengan jerih payahnya untuk mencari kayu bakau ke dalam anak sungai. Seperti yang disampaikan Hidayat, dalam satu hari saja, ia mampu mengumpulkan 700 kilogram kayu bakau. Sementara kayu itu hanya dihargai Rp120 hingga Rp150 per kilogram.

Pengamat Minta Data Ulang Panglong dan HTR

Menurut Pengamat Hukum Lingkungan Universitas Islam Riau, DR. Arifin Bur, SH. MHum, walaupun telah terdaftarnya panglong dan HTR di Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kepulauan Meranti, setidaknya ada upaya strategis agar penebangan hutan bakau tidak akan menimbulkan dampak kerusakan ekosistem lingkungan dan terjadinya abrasi. 

“Kemudian, ada upaya hukum yang mengikat dengan cara Pemkab Meranti mewajibkan kepada pihak perusahaan ataupun panglong untuk melakukan reboisasi di lahan atau hutan bakau yang kondisinya kritis. Sebagai contoh, pihak perusahaan menanam kembali empat batang pohon bakau setiap menebang satu batang kayu bakau di lahan kritis,” saran Arifin.

Selain itu, Arifin juga menyampaikan, Pemkab juga mendata ulang panglong dan hutan bakau jadi Hutan Taman Rakyat (HTR) agar pemanfaatannya dapat dikontrol dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan menghindari penebang hutan dan penampungan kayu bakau secara ilegal.

“Dengan begitu kita dapat membuat regulasi tentang pemanfaatan hasil hutan bakau, baik per orangan maupun kelompok, atau perusahaan,” ungkap Arifin.

Ketegasan Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Meranti dan instansi/lembaga terkait tentunya sangat dibutuhkan demi keberlangsungan ekosistem hutan mangrove/bakau dan keutuhan pulau-pulau di Kabupaten Kepulauan Meranti.(*)

 

Nama penulis adalah Parlindungan

(Jurnalis dan sekaligus Pemimpin Redaksi www.RiauBisnis.id.)

 

HP/W: 081268123180

Instagram: @Parlindungan.Riau

Twitter: Parlin_Riau

Facebook: Parlindungan RiauBisnis

BERITA LAINNYA