6 Bulan Corona di RI dan Turun Naik Kebijakan Jokowi

Jumat,04 September 2020 - 16:08:31 wib
6 Bulan Corona di RI dan Turun Naik Kebijakan Jokowi
sumber foto cnnindonesia.com

Jumlah kasus positif terinfeksi virus corona (Covid-19) di Indonesia belum mengalami penurunan setelah enam bulan berlalu sejak kasus pertama diumumkan 2 Maret lalu. Kasus Covid-19 justru konsisten bertambah dan terus berlipat ganda.

Dilansir dari laman cnnindonesia.com, secara kumulatif per Rabu (3/9), sebanyak 184.268 orang telah terpapar virus corona. Dari jumlah tersebut, 132.055 orang dinyatakan sembuh dan 7.750 orang lainnya meninggal dunia.

Kasus positif Covid-19 meningkat drastis sejak dua bulan terakhir. Dalam beberapa kali kasus bertambah di atas angka 3.000 per hari. Bahkan, Rabu (3/9) kasus positif Covid-19 bertambah sebanyak 3.622 orang dalam 24 jam dan menjadi rekor baru harian.

Akumulasi kasus positif mulai meningkat drastis sejak Juni hingga Agustus 2020. Sepanjang Juni, kasus positif bertambah sebanyak 29.912. Jumlah tersebut meningkat dua kali lipat sepanjang Juli, dengan total kasus positif sebesar 51.991 orang. Kasus positif Covid-19 kembali meningkat sepanjang Agustus dengan 66.420 orang.

Jika dilihat, lonjakan drastis dari Juni ke Juli yang mencapai dua kali lipat itu terjadi setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyerukan adaptasi kebiasaan baru (AKB) dan memberi lampu hijau daerah untuk melonggarkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Sejumlah daerah pun mulai melonggarkan bahkan mencabut kebijakan PSBB, seperti DKI Jakarta yang menerapkan PSBB transisi sejak awal Juni, Jawa Barat menjalankan PSBB proporsional, hingga Sumatera Barat dan Surabaya Raya yang menyetop PSBB.

Alhasil kasus positif terus bertambah dari hari ke hari sejak pelonggaran. Pasien positif Covid-19 yang meninggal dunia juga meningkat, meskipun pasien yang dinyatakan sembuh naik signifikan dalam dua bulan ini. Namun perlu dicatat, dari ribuan yang meninggal, sekitar 102 orang merupakan dokter yang menangani pandemi Covid-19.

Pengamat Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM), Satria Aji Imawan menilai kebijakan yang diambil Jokowi selama enam bulan dalam menekan laju penyebaran virus corona gagal. Aji menyebut kebijakan yang kerap diambil tak mencerminkan relasi antara pemerintah dengan rakyatnya.

"Kebijakan di Indonesia mengenai covid gagal karena kebijakannya tidak mencerminkan relasi antara pemerintah-masyarakat. Artinya kebijakan muncul karena hanya bayangan yang dilihat oleh pemerintah. Sementara itu, apa yang diinginkan masyarakat kadang berbeda," kata Aji kepada CNNIndonesia.com, Jumat (4/9).

Aji mencontohkan kebijakan yang diputuskan Jokowi pada awal penanganan pandemi Maret 2020. Ketika itu, masyarakat mendorong pemerintah melakukan lockdown (karantina wilayah) untuk menekan laju penyebaran virus corona. Namun, Jokowi tak memutuskan lockdown dan hanya sekedar mengeluarkan aturan tata cara penerapan PSBB.

"Nyatanya tidak diambil. Kini kita menanggung akibatnya," ujarnya. Keputusan pemerintah yang tak ingin ekonomi terjun bebas sehingga melonggarkan aktivitas masyarakat dan mengizinkan perkantoran hingga dunia usaha buka dengan protokol kesehatan juga tak bisa dikatakan berhasil. Bahkan, Menko Polhukam Mahfud MD sampai menyebut 99 persen Indonesia masuk jurang resesi.

Menurut Aji, sejak awal pemerintah telah diingatkan akan kebijakan 'ngawur' yang bisa berakibat kehilangan dua hal yang ingin diselamatkan. Namun, pemerintah seolah tutup telinga dan tak ingin mendengar kritik apapun yang disampaikan sejumlah pihak untuk mencegah masifnya penularan Covid-19 seperti yang terjadi saat ini.

"Di awal sudah diperingatkan tentang skema loss ekonomi, loss kesehatan. Ternyata kejadian," katanya. Dengan melihat kondisi saat ini, Aji meminta pemerintah Jokowi mengevaluasi kebijakan yang sudah diambil dalam enam bulan terakhir. Selain itu, ia meminta pemerintah membuka opsi kembali untuk melakukan lockdown ataupun PSBB total.

"Pemerintah harus membuka lagi opsi kebijakan di awal pandemi seperti Karantina Wilayah, PSBB lagi. Cukup klise melihat ke belakang tapi harus diakui new normal tidak jalan. New Normal dianggap Normal," ujarnya.?

Kebijakan Kontradiktif

Epidemiolog Universitas Airlangga (Unair), Windhu Purnomo mengatakan selama enam bulan ini banyak kebijakan kontradiktif yang diambil pemerintah dalam penanganan Covid-19. Kebijakan kontradiktif ini yang membuat kasus positif terus bertambah selama enam bulan ini. "Kebijakan pemerintah banyak yang kontradiktif dengan prinsip pemutusan rantai penularan," kata Windhu melalui pesan singkat kepada CNNIndonesia.com.

Selain kebijkan pemerintah kontradiktif, Windhu menyebut masyarakat yang belum patuh protokol kesehatan juga ikut menyumbang lonjakan kasus Covid-19. Namun, sikap masyarakat ini juga terpengaruh kebijakan pemerintah yang belum konsisten menekan penyebaran virus. "Mengapa kasus masih terus meningkat? Jelas disebabkan rendahnya disiplin masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan, dan ini terjadi karena lemahnya pengawasan dan pengendalian dari pemerintah (pusat dan daerah)," ujarnya.?

Windhu lantas merinci sejumlah kebijakan kontradiktif yang diambil pemerintah, seperti tak ada lagi pembatasan pergerakan manusia dari satu daerah ke daerah lain. Syarat rapid test antibodi ketika akan naik pesawat atau kereta pun tidak tepat, karena rapid test bukan untuk mendiagnosis seseorang positif atau tidak.?

Kemudian pemerintah pusat maupun daerah yang melonggarkan aktivitas masyarakat, seperti membuka kembali perkantoran, pabrik, tempat rekreasi, rumah ibadah. Selain itu pemerintah juga mengizinkan sejumlah sekolah dan pondok pesantren di daerah zona hijau melakukan kegiatan belajar tatap muka.

Tak sampai di situ, pemerintah juga sedang menyiapkan pembukaan bioskop, pertunjukan musik, hingga pertandingan bola.  ?"Ini jelas menimbulkan kerumunan yang berisiko tinggi pada penularan," katanya.

Windhu mengatakan pemerintah saat ini harus kembali menarik 'rem darurat' yakni membatasi pergerakan masyarakat, baik di dalam suatu wilayah ataupun dari satu wilayah ke wilayah lain. Menurutnya, kebijakan tersebut bisa efektif menekan laju penyebaran virus yang sudah meluas ke sejumlah wilayah Tanah Air.

?"Semua harus diminta mengencangkan ikat pinggang. Memang menarik rem darurat itu sangat sakit, tapi diharapkan akan mampu menyembuhkan," ujarnya. Di sisi lain, Windhu menyebut Indonesia juga belum melakukan testing sesuai dengan standar WHO. Sesuai target WHO, suatu negara semestinya mampu melakukan testing 1.000 per 1 juta penduduk per minggu.

Apabila menggunakan asumsi jumlah penduduk Indonesia 260 juta jiwa, maka dibutuhkan tes Covid-19 sebanyak 260 ribu per minggu. Dengan demikian, target tes per hari berada di kisaran angka 37 ribu. Menurutnya, Indonesia baru mampu mendeteksi kurang dari separuh dari yang sesungguhnya terjadi di masyarakat karena jumlah testing masih separuh dari yang seharusnya.

Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra menyebut dalam enam bulan ini ada kebijakan yang sejalan untuk menekan penyebaran virus corona tetapi ada juga kebijakan kontroversi dan beberapa kebijakan yang tidak sejalan dengan pengendalian Covid-19.

Kebijakan yang tak kontroversi dan tak sejalan itu, kata Hermawan, membuat kasus positif Covid-19 tak kunjung menurun setelah enam bulan berlalu. Ia pun mendorong pemerintah mengevaluasi kebijakan yang telah diambil dalam enam bulan ke belakang ini.

"Sulit melakukan dua duanya, memenangkan ekonomi dan kesehatan. Tapi juga kita tidak ingin mengorbankan kesehatan dan meporakporandakan ekonomi. Ada langkah terpadu, yang pada tahap tertentu harus prioritaskan kesehatan, baru kita stimulus ekonomi," kata Hermawan.

Sementara itu, Epidemiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Donny Achmad mengatakan keberhasilan pengendalian pandemi Covid-19 tak hanya tergantung kebijakan yang diambil pemerintah. Menurutnya, peran masyarakat untuk mau mematuhi kebijakan yang dibuat pemerintah juga sangat berperan.

"Kalau dilihat sekarang, banyak upaya yang dilakukan untuk meningkatkan ketidakpercayaan masyarakat pada kebijakan pemerintah," ujar Donny. Donny menyebut di negara-negara yang berhasil mengendalikan penyebaran virus, semua komponen masyarakat satu kata dengan pemerintah untuk melakukan upaya pengendalian. Namun, hal tersebut tak terjadi di Indonesia.

Donny pun meminta pemerintah secara konsisten mengimplementasikan kebijakan social distancing. Selain itu, ia mengatakan pemerintah harus berani menghentikan kegiatan-kegiatan yang tak esensial di tengah pandemi Covid-19. "Ya mengimplementasikan kebijakan social distancing secara konsisten tidak hanya di atas kertas saja. Kembali menghentikan kegiatan-kegiatan tidak esensial," kata dia.

Kemarin, Juru Bicara Satgas Covid-19, Wiku Adisasmito mengakui bahwa sejauh ini pemerintah belum bisa konsisten dalam menurunkan angka kasus positif virus corona. Namun, Wiku mengingatkan upaya mengurangi angka positif secara konsisten bukan hanya menjadi tugas pemerintah. Kesadaran warga mematuhi protokol kesehatan juga vital dalam menanggulangi pandemi Covid-19.

"Beberapa Minggu terakhir ini terlihat peningkatan jumlah kasus cukup signifikan. Ini semua tentu yang dulu kita bisa kendalikan, sekarang terjadi kondisi mengkhawatirkan, bahwa kita sebenarnya belum berhasil menekan dan mencegah penularan secara konsisten, secara nasional," kata Wiku. (GA)

 

BERITA LAINNYA