Pelaku industri biodiesel menyambut positif penyesuaian tarif pungutan ekspor sawit melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.05/2020 tentang Perubahan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Dilansir dari laman liputan6.com, Beleid ini menjadi solusi untuk menjaga keseimbangan industri dan keberlanjutan program sawit di bawah pengelolaan BPDPKS. Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (APROBI) MP Tumanggor mengapresiasi komitmen pemerintah dalam program B30 melalui penerbitan PMK Nomor 191/2020.
Sebab, mandatori B30 telah terbukti meningkatkan serapan minyak sawit di dalam negeri. Di tengah lesunya pasar ekspor sawit, biodiesel menjadi penyeimbang antara produksi dan permintaan. Alhasil, tren harga sawit terus positif menjelang akhir tahun 2020.
“Kami mendukung penyesuaian tarif pungutan di dalam PMK Nomor 191/2020. Aturan ini semakin memperkuat program hilir sawit di tahun depan. Selain itu, konsumsi domestik akan meningkat seiring keberlanjutan B30 yang rencananya ditingkatkan menjadi B40. Targetnya, mandatori biodiesel akan menyerap pemakaian minyak sawit 9,2 juta kiloliter pada 2021,” ujar Tumanggor.
Di tengah lesunya pasar global, penggunaan biodiesel di dalam negeri mampu menyerap produksi minyak sawit dan TBS petani. Alhasil, harga CPO menjelang akhir tahun di atas USD 800 per metrik ton. Harga TBS petani rerata di atas Rp 1.700 per kg bahkan mampu tembus Rp 2.000 per kilogram.
Tumanggor mengatakan pungutan ekspor sawit telah dirasakan manfaatnya bagi industri sawit. Di bawah pengelolaan BPDPKS yang profesional, mulai dari pengusaha, petani, peneliti, dan masyarakat dapat memanfaatkan dana program sawit.
“Tidak benar bahwa pungutan ekspor lebih banyak disalurkan kepada perusahaan. Karena dana ini juga dimanfaatkan bagi pengembangan sawit petani dan pemangku kepentingan lain,” kata Tumanggor.
Ketua Harian APROBI Paulus Tjakrawan berharap pemerintah dapat merealisasikan peningkatan mandatori biodiesel menjadi B40. Tujuannya mengurangi beban pemerintah karena biodiesel dapat menekan impor bahan bakar minyak, penghematan devisa, dan memperkuat ketahanan energi.
Saat ini, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sedang melakukan kajian terhadap Biodiesel 40 persen (B40) untuk bahan bakar kendaraan bermotor bermesin diesel.
“Dengan penyesuaian tarif pungutan, mandatori biodiesel terus berlanjut. Harapannya dapat ditingkatkan menjadi B40 pada tahun depan. Jika mandatori naik, konsumsi sawit di pasar domestik akan tumbuh. Ini lebih menguntungkan perekonomian Indonesia,” ujar Paulus.
Dengan terjaganya konsumsi biodiesel dalam negeri melalui program mandatory B30, bisa menjaga keberlanjutan indutri hulu sampai hilir, menciptakan kestabilan harga CPO yang pada akhirnya juga akan memberikan dampak positif pada harga Tandan Buah Segar ditingkat petani.
Harga TBS
Ketua Umum DPP APKASINDO Gulat Manurung menjelaskan bahwa petani sedang menikmati harga TBS yang bagus sebagai dampak keberhasilan program Mandatori B30. “Dan hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Sebentar lagi akan ke B40 yang diharapkan semakin memberikan dampak positif kepada industri sawit dan ekonomi negara,” ujar Gulat.
Menurutnya kebijakan pemerintah menyesuaikan kenaikan tarif pungutan ekspor bertujuan menjaga keberlanjutan program sawit. Program yang dikelola BPDPKS ini mendukung B30, peremajaan sawit, peningkatan SDM, riset, dan promosi. Karena itu, asosiasi meminta gotong royong antara pemerintah, pelaku usaha dan petani untuk berperan dalam menjaga stabilisasi harga CPO dan TBS.
“Program biodiesel Ini berdampak bagus bagi roda ekonomi 21 juta petani dan keluarganya di tengah pandemi Covid-19,” ujarnya. Semua pihak harus saling bahu membahu antara pemerintah, pelaku usaha dan petani untuk berperan dalam menjaga stabilisasi harga CPO.
Ia mengatakan jika tarif pungutan ekspor tidak disesuaikan dengan kenaikan harga CPO. Dampaknya, program B30 yang sudah berjalan akan mandeg. Jika biodiesel tidak berjalan, maka stok CPO dalam negeri melimpah, tanki penampungan CPO penuh, dan TBS Petani tidak dibeli pabrik.
Sebagai solusinya, Gulat mengusulkan kebijakan bea keluar ditunda sebagai langkah relaksasi bagi industri sawit di kala pandemi. Lantaran, industri sawit terbebani dua kali pungutan yaitu bea keluar dan pungutan ekspor.
Di sisi lain, pungutan ekspor tetap harus dijalankan sehingga program sawit yang dikelola BPDP-KS dapat berjalan. Mengingat, filosofi pungutan ekspor adalah dari sawit untuk membiayai kepentingan sawit. (GA)