Jokowi, NIK-NPWP dan Upaya Baru Kejar Pengemplang Pajak


Kamis,30 September 2021 - 09:07:25 WIB
Jokowi, NIK-NPWP dan Upaya Baru Kejar Pengemplang Pajak sumber foto cnnindonesia.com

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada awal bulan ini mengeluarkan aturan terkait pencantuman Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan/atau Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dalam pelaksanaan pelayanan publik di Indonesia.

Dilansir dari laman cnnindonesia.com, menurut aturan, pencantuman dimaksudkan untuk dua kepentingan, yakni penanda identitas untuk setiap pemberian pelayanan publik dan penanda identitas untuk setiap data penerima pelayanan publik yang statusnya masih aktif di Indonesia.

Aturan tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2021 Tentang Pencantuman dan Pemanfaatan Nomor Induk Kependudukan dan Atau Nomor Pokok Wajib Pajak dalam Pelayanan Publik.

Lewat beleid, pemerintah juga mengatur data layanan publik yang telah dilengkapi NIK dan NPWP yang telah divalidasi, bisa dibagipakaikan dan dimanfaatkan untuk beberapa kepentingan. Pertama, pencegahan tindak pidana korupsi. Kedua, pencegahan tindak pidana pencucian uang. Ketiga, kepentingan perpajakan. Keempat, pemutakhiran data identitas dalam data kependudukan.

Dalam pertimbangan perpresnya, Jokowi mengatakan aturan itu dibuat untuk mendukung pelaksanaan kegiatan pelayanan publik yang terstandarisasi dan terintegrasi. Pengamat Kebijakan Publik Trubus Trubus Rahadiansyah membaca kebijakan tersebut lebih dari sekedar syarat pelayanan publik, namun juga dimaksudkan untuk mencatat sekaligus melacak (tracking) aktivitas masyarakat di ruang publik.

Dari sana, ia menilai pemerintah bisa melacak aktivitas mereka yang suka 'membandel' misal mengemplang pajak hingga ikut serta dalam kegiatan terorisme. Idealnya, ia menyebut aturan NIK-NPWP mencatut dari data pribadi, bisnis, angka pendapatan, pembayaran pajak, hingga silsilah keluarga yang bersangkutan.

Kata Trubus, sebenarnya aturan penyertaan NIK/NPWP sudah jadi praktik lumrah di negara maju. Namun, untuk negara berkembang seperti Indonesia yang datanya masih tercecer di sana sini, ia menyebut kebijakan ini tergolong non-populis.

Pasalnya, berbagai kelompok sudah lama menikmati kelemahan lacak data di NKRI. Ia mengatakan hingga kini kalangan menengah ke atas masih enggan terbuka soal harta dan pendapatan guna menghindari pajak ,sehingga ia meramal resistensi implementasi aturan ini bakal cukup keras.

"Resistensi dan penolakan masyarakat pasti ada, ini perlu sosialisasi panjang itu karena masyarakat kita kecenderungannya kalau urusan pribadi sangat tertutup, apalagi menengah ke atas," katanya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (29/9).

Kendati mengaku mendukung kebijakan anyar ini, namun Trubus pesimis manfaatnya bakal dinikmati dalam waktu dekat. Ia menyebut tantangan besar sinkorinisasi data setiap KL atau instansi pelayan publik ada di depan mata. Maklum, instansi pemerintah dan pemda punya data masing-masing yang tidak saling terintegrasi.

Dia mengambil contoh soal carut marut penyaluran bantuan sosial (bansos) dan tidak terhubungnya data vaksinasi Kementerian Kesehatan dengan Dukcapil Kementerian Dalam Negeri sehingga bisa terjadi pembajakan vaksinasi.

Di sisi lain, ia mengatakan aturan terkait hanya akan berjalan sesuai harapan bila pemerintah juga melakukan reformasi internal dan mengenakan sanksi berat bagi aparatur negara yang membandel.

Menurut dia, sudah berpuluh-puluh tahun oknum pejabat dapat 'angpao' dari pihak tertentu agar aktivitas mereka tidak terdeteksi di atas kertas. Bila tak tegas, bisa jadi aturan bakal tumpul ke bawah karena kalangan atas punya kemampuan untuk menyogok pejabat.

"Selama ini aparat pejabat diuntungkan dari ketidakterbukaan itu, jadi memang saya rasa menjadi kontraproduktif dengan kondisi yang ada. Jadi ya dalam hal ini agak berat untuk terlaksana," imbuhnya.

Trubus kemudian menggarisbawahi soal keamanan data. Ia mewanti-wanti karena sudah beberapa kali terjadi kebocoran massal data publik. Jika pemerintah tak bisa menjamin keamanan data warganya, ia menilai hal ini akan menjadi penolakan tersendiri dari masyarakat.

Selain itu, ia menyebut aturan tidak bisa langsung diimplementasikan, pemerintah harus melakukan sosialisasi panjang. "Harus edukasi ke masyarakat bahwa ini ada hal-hal yang paling tidak ada reward and punishment, yang patuh harus diberi reward karena saat ini orang yang patuh dan ga patuh pajak tidak ada pembedanya," kata dia.

Pengamat Perpajakan Universitas Pelita Harapan (UPH) Ronny Bako menilai aturan ini diberlakukan dengan maksud agar Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat melakukan cek silang di instansi berbeda. Ujung-ujungnya, DJP bisa meraup pendapatan baru dari mereka yang mendapatkan pelayanan public.

Ronny menyebut saat ini DJP masih kesulitan untuk melacak aktivitas masyarakat dan harus meminta data langsung ke instansi pelayanan publik. Tapi masalahnya, kata dia, RI belum punya satu data tersentra atau central big data di mana seluruh data KL dan kementerian tercatat dan diintegrasikan. Bila setiap instansi masih mencatat masing-masing, ia meyakini implementasi di lapangan bakal jauh dari maksimal.

Menurutnya tahap pertama yang harus dipenuhi dalam implementasi adalah central big data yang dipakai dan menjadi acuan setiap instansi. Absennya data terpusat membuat setiap kementerian punya pendataan masing-masing yang tumpang tindih.

"Harus terpusat jadi ketika orang dihukum akan ketahuan dia punya rentetan utang ke mana, bayar pajak atau tidak, sekarang orang dihukum target pajaknya engga tahu di mana," kata dia. Di sisi lain, ia menambahkan bahwa pemerintah perlu menurunkan tarif pajak guna menyaingi Singapura, surga para taipan Indonesia menyimpan hartanya. Ia optimis bila tarif pajak diturunkan maka kepatuhan pun akan naik.

Tak sampai di situ, ia menilai transformasi pajak juga harus dilakukan dengan cara memperkuat DJP. Ia menganjurkan agar DJP menjadi kementerian terpisah dari Kementerian Keuangan dan diawasi langsung oleh Presiden. Menurut dia, praktik serupa telah diterapkan oleh Amerika Serikat (AS) lewat Internal Revenue Service (IRS) yang bertanggungjawab langsung kepada Pemerintah Federal.

Ia menyebut reformasi perpajakan yang dilakukan pemerintah selama puluhan tahun guna menyadarkan pentingnya kepatuhan pajak masih jalan di tempat, sehingga ia menilai perlu ada langkah yang lebih berani dari pemerintah. "Jangan reformasi pajak tapi transformasi. Reformasi menyasar tingkat kesadaran dari 1983 sampai sekarang gitu, ini sudah 2021 bukan reformasi lagi tapi transformasi," tutupnya. (GA)


Akses riaubisnis.co Via Mobile m.riaubisnis.co
TULIS KOMENTAR
BERITA LAINNYA

KANTOR PUSAT:
Jl. Arifin Ahmad/Paus Ujung (Komp. Embun Pagi), B 13, Pekanbaru, Riau – Indonesia
CP : 0812 6812 3180 | 0853 7524 1980
Email: [email protected]