Produksi Beras RI 2,5 Kali Lebih Mahal dari Vietnam dan Thailand


Jumat,19 Agustus 2022 - 14:18:59 WIB
Produksi Beras RI 2,5 Kali Lebih Mahal dari Vietnam dan Thailand sumber foto cnnindonesia.com

Head of Agriculture Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Aditya Alta mengingatkan target pemerintah untuk mencapai swasembada beras akan cukup sulit diraih, karena biaya produksi di Indonesia cukup mahal dibandingkan negara lain, seperti Thailand dan Vietnam.
Laporan International Rice Research Institute (IRRI) pada 2016 menyebutkan ongkos produksi beras di Indonesia 2,5 kali lebih mahal dibandingkan dengan Vietnam, dan 2 kali lebih mahal dari Thailand.

Dilansir dari laman cnnindonesia.com. Data tersebut juga menunjukkan rata-rata biaya produksi per satu kilogram beras di dalam negeri mencapai Rp4.076. Sedangkan biaya produksi di Vietnam mencapai Rp1.679 per kg, di Thailand mencapai Rp2.291 per kg, dan di India sebesar Rp2.306 per kg.

Tak hanya karena masalah biaya produksi, Alta mengatakan banyak faktor pada sektor pertanian Indonesia yang tidak mendukung target itu. Di sisi itu, petani di dalam negeri juga mendapatkan banyak kesulitan mulai dari masalah benih hingga lahan. "Petani di Indonesia juga menemui beberapa kesulitan mulai dari benih, pupuk, akses permodalan, lahan kecil yang berimbas pada proses bercocok tanam yang tidak efisien dan juga kapasitas petani yang juga sebagian besar masih belum produktif," jelas Aditya Alta, dalam siaran pers yang dikutip Jumat (19/8).

Ia menyebutkan ongkos produksi beras di Indonesia juga 1,5 lebih mahal dibandingkan di Filipina yang sebesar Rp3.224 per kg dan China Rp3.661 per kg. Tingginya ongkos produksi, lanjut Aditya, menyebabkan harga beras nasional menjadi tinggi. Belum lagi ditambah dengan kondisi geografis Indonesia yang menyebabkan adanya biaya pengangkutan yang tidak sedikit.

Selain itu, mahalnya produksi beras disebabkan oleh mekanisme produksi dan sistem distribusi yang kurang efisien di Indonesia. Ia mengatakan tingginya ongkos produksi dapat diatasi melalui investasi pertanian yang berkelanjutan, yang dapat mendorong modernisasi dan transfer teknologi. "Sistem pangan Indonesia masih dihadapkan pada berbagai masalah, seperti tingginya ongkos produksi, belum efisiennya proses produksi dan panjangnya rantai distribusi, dan kesemuanya berdampak pada harga," ujar Aditya Alta.

Sementara itu, ia menilai Indonesia memang berhasil mempertahankan swasembada beras dan jagung setidaknya dalam lima tahun terakhir, di mana impor hanya menyumbang sangat kecil dari kebutuhan domestik. Namun, produktivitas tanaman pangan cenderung stagnan dalam periode yang sama. Ia mengatakan selama masa swasembada beras tersebut, produksi beras Indonesia memang berlebih berkat intensifikasi dan perluasan lahan. Namun hal tersebut terwujud berkat upaya panjang dan pembiayaan besar.

"Penekanan pada kuantitas juga mengakibatkan rendahnya kualitas beras," kata Aditya Alta. Ia mengatakan sebelum menargetkan swasembada pangan, pemerintah harus fokus pada ketersediaan pangan yang terjangkau. Hal ini bisa diraih dengan mengkombinasikan produksi domestik dan impor atau dengan meningkatkan pendapatan rakyat untuk mendorong daya beli.

"Impor pangan dapat dilakukan untuk memenuhi kekurangan pasokan antar masa panen atau ketika harga juga meningkat. Kebijakan perdagangan terbuka untuk pangan dengan demikian akan memungkinkan masyarakat memiliki akses kepada pangan bergizi dengan harga terjangkau," katanya. Kebijakan swasembada pangan, lanjutnya, juga akan menghambat diversifikasi pangan yang sebenarnya juga merupakan jalan keluar untuk dapat menjamin ketersediaan pangan yang terjangkau. (RF)

 


Akses riaubisnis.co Via Mobile m.riaubisnis.co
TULIS KOMENTAR
BERITA LAINNYA

KANTOR PUSAT:
Jl. Arifin Ahmad/Paus Ujung (Komp. Embun Pagi), B 13, Pekanbaru, Riau – Indonesia
CP : 0812 6812 3180 | 0853 7524 1980
Email: [email protected]