Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang saat ini juga membawahi Pendidikan Tinggi, memegang peran sentral dalam menentukan ke mana arah generasi masa depan akan dibawa.
Pendidikan kita saat ini masih menghadapi tantangan besar dengan belum meratanya pertumbuhan ekonomi di Indonesia, yang tentu saja berdampak pada tidak meratanya kualitas pendidikan masyarakatnya. Ketimpangan atau kesenjangan pendidikan di kota-luar kota, Jawa-luar Jawa di wilayah Barat, Tengah dan Timur Indonesia masih menjadi persoalan serius yang memerlukan langkah-langkah terobosan yang tidak biasa.
Dikutip dari laman kompas.com, kondisi sosial budaya pun berperan penting menciptakan atmosfer yang menunjang kemajuan pendidikan, selain hal yang terkait langsung lainnya seperti guru, pengelola, peserta didik, masyarakat, dan pemerintah sebagai pembuat kebijakan.
Visi Presiden dan figur Nadim
Visi Presiden Jokowi dalam masa pemerintahan 2019-2024 salah satunya menjadikan pengembangan sumber daya manusia (SDM) unggul menuju Indonesia Emas 2045 sebagai fokusnya, selain pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan.
Lompatan kemajuan dalam bidang pendidikan nasional menyikapi adanya disrupsi teknologi dan manajemen besar pendidikan nasional, menurut Presiden, harus dikelola dengan teknologi tanpa menggeser tujuan pendidikan, yaitu membangun karakter dan jati diri bangsa.
Lompatan ini memerlukan figur yang berani mendobrak hal-hal yang monoton. Pendidikan diarahkan pada vocational training/school, dan membangun manajemen talenta Indonesia untuk menciptakan SDM yang mampu bersaing secara global.
Nadiem Makarim adalah sosok yang diberi mandat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia Indonesia. Menurut Presiden, Indonesia, dengan potensi ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara maupun dunia, harus mampu berkompetisi.
Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu adanya kurikulum nasional yang sifatnya wajib untuk mencapai kompetensi tertentu. Artinya, akan terjadi perombakan kurikulum secara revolusioner dalam pendidikan kita.
Beberapa penguasaan individu harus termuat dalam kurikulum wajib di antaranya penguasaan bahasa Inggris untuk menjadikan internet dan dunia online sebagai dunia pengetahuan tak terbatas seperti di sekolah, dan peluang mencari ilmu pengetahuan secara mandiri dalam mengasah skill.
Kemampuan lainnya menguasai coding/programming, untuk memahami dunia virtual, menguasai statistik agar bisa menganalisis data, melihat tren secara kritis. Selain itu juga dikembangkan kemampuan paham psikologi dan nasionalisme inklusif untuk membangun masyarakat kelas dunia dengan mengundang orang-orang hebat dari luar untuk berkarya di negeri ini. Indonesia akan diciptakan sebagai pemain ekonomi digital yang adikuasa.
Tantangan
Tantangan menuju lompatan tersebut rasanya cukup berat. Perjalanan pendidikan kita dari waktu ke waktu, terlihat begitu-begitu saja. Setiap kali ganti menteri sistem pun berganti. Jadi, masalah mendasar pendidikan kita sebenarnya pada pengelolaan yang seharusnya bersifat komprehensif dan berkesinambungan.
Melihat narasi-narasi yang muncul, pendidikan Indonesia tampaknya kali ini difokuskan pada penciptaan SDM Indonesia siap kerja, dengan wacana link and Match dengan dunia kerja dan industri seperti kebijakan masa lalu yang pernah diterapkan tapi belum mendapatkan hasil memuaskan dengan tingginya pengangguran terdidik yang tidak bisa terserap dunia industri.
Memperhatikan fenomena yang terjadi, sejumlah pertanyaan memenuhi pikiran kita. Bagaimana dengan pendidikan karakter bangsa dan nasib manusia sebagai pembelajar? Bagaimana peran kebudayaan dalam pendidikan kita? Apakah semua akan diciptakan sebagai “robot” pekerja yang meterialistik konsumtif? Kita ingin menyaksikan lompatan besar dari seorang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru yang dianggap sebagai terobosan dan keberanian Jokowi berpaling dari pakem lama yang dianggap monoton, dengan memilih menteri berusia muda dan dari kalangan pengusaha bisnis digital.
Peran pendidikan yang berfokus pada teknologi diharapkan tidak bertentangan dengan amanat konstitusi yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa yang tentu saja hal ini berkaitan dengan pembentukan karakter bangsa. Tantangan penggunaan teknologi dalam pendidikan di daerah juga tidak mudah sehingga diperlukan terobosan luar biasa untuk menciptakan perangkat lunak maupun keras untuk menggapai wilayah-wilayah terjauh dari pusat pemerintahan disamping SDM sebagai guru yang juga harus “melek” teknologi.
Kualitas guru adalah masalah lainya yang urgen dan harus ditangani dengan serius karena lompatan pendidikan berbasis teknologi digital harus pula menyertakan lompatan kemampuan guru di seluruh tingkatan pendidikan.
Revolusi mental
Dari sisi ini diperlukan revolusi mental yang menyentuh seluruh komponen dunia pendidikan, baik siswa, guru, dan seluruh pemangku kepentingan. Kompetensi dan mentalitas guru dalam mendidik akan menentukan kualitas pendidikan di Indonesia. Kemampuan berpikir kritis, bekerja sama, berkomunikasi dan kreatif hanya dapat tercapai dengan kualitas guru yang baik.
Karena pendidikan adalah tempat manusia sebagai pembelajar yang terus mencari ilmu pengetahuan baru, kiranya pendidikan kita tidak hanya disiapkan untuk mencetak tenaga kerja siap pakai, tetapi terlebih juga sebagai manusia yang memiliki karakter pembelajar. Saat manusia siap bekerja, diharapkan ia tidak berhenti sebagai pembelajar dan pencari ilmu pengetahuan untuk memajukan peradaban manusia.
Pendidikan diharapkan tidak hanya berorientasi pada aspek ekonomi semata dalam memenuhi kebutuhan hidup, tetapi aspek karakter yang diinternalisasi dalam praktik budaya harus lebih dihidupkan, sehingga kita tidak menjadi robot-robot yang terpenuhi kebutuhan hidupnya secara ekonomi saja tetapi secara roh kita miskin rasa kemanusiaan.
Persoalan pendidikan kita tidak hanya pada lompatan teknologi jauh ke depan tapi juga memperbaiki carut marut pendidikan di Indonesia dengan memperhatikan pendidikan karakter melalui kebudayaan.
Pendidikan karakter
Melihat data UNESCO dalam Global Education Monitoring (GEM) 2016 Indonesia menduduki peringkat mutu pendidikan 10 dari 14 negara berkembang, dan kualitas guru urutan 14 dari 14, sungguh memprihatinkan.
Persoalan minimnya standar pelayanan sekolah, masih maraknya kasus kekerasan, perundungan (bullying), narkoba, dan radikalisme adalah potret nyata hasil pendidikan kita saat ini, tidak hanya di tingkat sekolah dasar dan menengah, tapi juga di tingkat pendidikan tinggi. Melihat fakta di atas, program penguatan karakter sebagai program Kemendikbud untuk mewujudkan revolusi mental seperti termuat dalam Nawa Cita bisa dikatakan masih “terseok-seok”.
Dalam periode yang baru ini, pengembangan dan penguatan karakter religius, nasionalisme, integritas, kemandirian, dan kegotong-royongan yang bersumber dari asas Pancasila tidak boleh ditinggalkan. Penanaman nilai-nilai karakter ini juga menjadi kurikulum wajib untuk mengimbangi lompatan teknologi informasi yang akan dibangun dalam sistem pendidikan kita ke depan.
Sikap nasionalisme terbuka sebagai visi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru, hendaknya tetap meninggikan apresiasi terhadap budaya sendiri, cinta tanah air, serta menghormati keberagaman budaya, suku, dan agama, baik yang sifatnya lokal maupun global. Ini senada dengan visi Presiden ke-3, seorang teknokrat, BJ Habibie, “Indonesia harus mengandalkan sumber daya manusia yang berbudaya, merdeka, bebas, produktif, dan berdaya saing tinggi.” (GA)