Babak Baru KPK di Bawah Kendali Firli Cs dan Dewan Pengawas


Senin,23 Desember 2019 - 08:48:06 WIB
Babak Baru KPK di Bawah Kendali Firli Cs dan Dewan Pengawas sumber foto okezone.com

Wajah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke depan akan berubah. Per hari ini, Komisioner KPK Jilid IV yang dipimpin Agus Rahardjo menyerahkan tugas kepada Pimpinan baru yang dinakhodai Firli Bahuri. Bersamaan dengan itu, untuk pertama kalinya lima anggota Dewan Pengawas (Dewas) dilantik Presiden Joko Widodo untuk bekerja sebagaimana mandatnya.

Dikutip dari laman okezone.com, pada hari ini pula, kinerja KPK sudah sepenuhnya mengacu kepada Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Pasal 69D pada intinya menjelaskan bahwa KPK harus bekerja sesuai undang-undang baru setelah Dewas terbentuk.

Keraguan muncul dari publik akan kinerja KPK dalam memberantas korupsi ke depan. Pasalnya, aturan perubahan tersebut dinilai membuat 'lumpuh' lembaga antirasuah.

Sejumlah poin penting yang membatasi kerja pemberantasan korupsi di antaranya adalah status KPK sebagai lembaga negara di rumpun eksekutif dan pegawai KPK merupakan ASN; penghapusan pimpinan sebagai penanggung jawab tertinggi; hingga kewenangan dewan pengawas masuk pada teknis penanganan perkara, yakni memberikan atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan dan penyitaan.

Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengatakan sistem yang ada saat ini tidak menawarkan solusi perihal pemberantasan korupsi. Siapa pun pimpinan ataupun anggota Dewas, menurut dia, tidak akan memberi banyak pengaruh terhadap kinerja KPK dalam menangkap koruptor atau memberantas korupsi.

"Saya harus garis bawahi yang dimaksud sistem itu adalah Undang-undang Nomor 9 Tahun 2019 yang sudah membuat KPK pada dasarnya lumpuh dalam konteks penegakan hukum," ujar Bivitri kepada CNNIndonesia.com, Jum'at (20/12).

Mengenai nama Artidjo Alkostar dan Albertina Ho yang disebut-sebut berpeluang mengisi kursi Dewas, Bivitri menilai tidak akan melahirkan banyak perubahan signifikan. Menurut dia, permasalahan utama terletak pada desain Dewas itu sendiri. Anggota Dewas akan terjebak dalam sistem yang dibangun tidak jelas sejak awal.

"Karena yang jadi masalah itu adalah desain Dewas sendiri yang sebenarnya bukan pengawas tapi pemberi izin. Ini yang misleading saya kira selama ini. Seakan-akan alasannya KPK enggak ada yang mengawasi, tapi kenyataannya Dewas ini pemberi izin, bukan mengawasi," kata dia.

Keinginan untuk memperbaiki iklim pemberantasan korupsi diperburuk dengan figur pimpinan KPK, Firli Bahuri, yang rekam jejaknya dipertanyakan. Bivitri khawatir ke depannya terjadi konflik kepentingan dalam menangani perkara.

"Jadi, dengan itu maka dengan masuknya pimpinan baru sekarang yang rekam jejaknya sangat dipertanyakan, terutama kaitannya dengan buku merah, ya, conflict of interest dengan kepolisian dan sebagainya saya kira sangat bisa dengan sistem yang sekarang," ujarnya.

Apalagi dalam kondisi pegawai KPK yang berstatus ASN, menurut Bivitri, kemungkinan besar kritik berkurang atau bahkan hilang. Hal itu membuat pelanggaran akan menguap begitu saja.

"Dengan sistem yang ada sekarang toh semua pegawai KPK nantinya tidak akan bisa vokal lagi dan kalaupun terlalu vokal, nantinya akan jatuh dari rezim ASN sehingga peluang untuk lebih independen itu sangat berkurang," tambahnya.

Wadah Pegawai KPK yang kerap kali mengkritisi pimpinan, menurut Bivitri juga bisa dibubarkan untuk kemudian diganti dengan organisasi kantor, semacam Persatuan Jaksa Indonesia. Dia memprediksi WP KPK tidak bisa lagi independen karena terikat status pegawai sipil negara.

Sementara itu, Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) UGM, Oce Madril memandang Artidjo dan Albertina tidak akan mau mengisi posisi Dewas jika sistemnya seperti saat ini. Keberadaan Dewas, menurut dia, mengacaukan kelembagaan KPK dan penegakkan hukum.

"Menurut saya siapa pun yang di sana akan terjebak dengan sistem yang tidak jelas," kata Oce kepada CNNIndonesia.com.

Oce menilai kerja Firli Bahuri Cs bakal menjadi lebih berat lantaran berlakunya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Ini menjadi tantangan untuk Pimpinan Jilid V.

"Memang akan ada tantangan yang jauh lebih berat, karena KPK yang lama dan ke depan berbeda. Yang ke depan berdasarkan UU baru, ada banyak pergeseran yang ada di UU tersebut," ucapnya.

Pergeseran yang dimaksud adalah poin-poin yang membatasi KPK sebagaimana telah dijelaskan di atas. Sepak terjang terhadap pemberantasan korupsi, lanjut Oce, juga dipengaruhi oleh sosok pimpinan KPK yang memiliki catatan pada rekam jejaknya.

"Ya, memang belum bisa kita simpulkan demikian. Tapi berdasarkan UU baru ada banyak keterbatasan yang dialami KPK. Kemudian kedua, dengan profil pimpinan baru, apakah mereka tegas terhadap kasus penting. Publik meragukan mereka memberantas korupsi dengan cara tegas. Publik juga meragukan lembaganya sendiri karena memiliki batasan," ujarnya.

Oce pun menyampaikan kondisi ideal pemberantasan korupsi saat ini adalah dikeluarkannya Perppu KPK dan menjadikan sosok seperti Artidjo sebagai pimpinan KPK. Penempatan sosok Artidjo di kursi Dewas, menurut dia, sebagai sesuatu yang mubazir.

"Idealnya Presiden mengeluarkan Perppu, kemudian Artidjo dan Albertina Ho jadi Pimpinan KPK. Kalau kita bicara ideal, sosok-sosok seperti mereka masuk jadi Pimpinan KPK. Presiden keluarkan Perppu, batalkan model yang sekarang itu, kemudian tunjuk, seleksilah orang-orang keren gitu," pungkas Oce.

"Kalau mereka ditempatkan dengan Dewan Pengawas sekarang, kita jadi bingung dengan komitmen pemberantasan korupsi presiden," ujarnya lagi.

Lebih lanjut, Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai undang-undang yang baru mengatur KPK sebagai lembaga pencegahan korupsi. Jika pun ada penindakan, kata dia, harus seizin Dewas yang sangat mungkin izin itu tidak diberikan jika menyangkut nama-nama kerabat Presiden dan orang tertentu. Apalagi untuk periode pertama Dewas dipilih langsung oleh Presiden.

Ia memandang KPK ke depan akan menjadi alat kekuasaan dan diarahkan ke sisi pencegahan saja. Sepak terjang lembaga antirasuah, menurut dia, ada di bawah kendali Presiden.

"Jadi, komisioner sama sekali tidak bergigi. Sepenuhnya dikendalikan Dewas dan karena Dewas bukan penegak hukum, setiap kali KPK melakukan penindakan (menyadap, menangkap, menahan, menggeledah dan menyita) pasti akan dipersoalkan oleh para koruptor," ungkap dia.

Perihal nama-nama seperti Artidjo dan Albertina Ho untuk Dewas, Fickar memandang tidak akan berpengaruh terhadap apa pun. Hanya saja, ia berharap sikap dan komitmen mereka terhadap pemberantasan korupsi tetap dijunjung tinggi meski dipilih oleh Presiden.

"Namun saya tidak tahu apakah setelah menjadi Dewas masih bisa mempertahankan idenya atau hanya menjalankan visi misi dan perintah Presiden seperti rekannya yang menjadi menteri yang selalu bilang ini kemauan Presiden," tutup Fickar. (GA)

 


Akses riaubisnis.co Via Mobile m.riaubisnis.co
TULIS KOMENTAR
BERITA LAINNYA

KANTOR PUSAT:
Jl. Arifin Ahmad/Paus Ujung (Komp. Embun Pagi), B 13, Pekanbaru, Riau – Indonesia
CP : 0812 6812 3180 | 0853 7524 1980
Email: [email protected]