Peneliti Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) Rocky Gerung meyakini lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi bisa diwujudkan tanpa RUU Omnibus law Cipta Kerja (Ciptaker). Keyakinan itu berdasarkan pertumbuhan ekonomi era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mampu menembus angka 6 persen tanpa instrumen Omnibus Law Ciptaker.
Dilansir dari laman cnnindonesia.com, "zaman SBY pertumbuhan 6 persen tanpa Omnibus Law, jadi jalan pikirannya ngaco," kata Rocky di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Senin (24/2).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pertumbuhan ekonomi era Presiden SBY beberapa kali menembus angka 6 persen. Pada 2010, atau periode kedua Presiden SBY, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di angka 6, 81 persen; 6,44 (2011); 6,19 persen (2012); 5,56 persen (2013).
Trend pertumbuhan ekonomi Indonesia menurun pada selama pemerintahan Joko Widodo. Pada 2014 BPS mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 5,02 persen, kemudian melorot 4,79 persen (2015); 5,02 persen (2016); 5,07 persen (2017); 5,17 persen (2018); dan 5,02 persen (2019).
Rocky menambahkan Omnibus Law hanya akan melayani para investor dan berpotensi merusak lingkungan alih-alih menciptakan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi. Dia berkata demikian berdasarkan sejumlah aturan yang menuai penolakan dari kelompok buruh dan aktivis lingkungan.
"Kalau saya bikin sinopsis dari tiap RUU ini isinya cuma dua hal, isinya adalah manjakan investor," kata Rocky. Perumusan Omnibus Law Cipta Kerja menuai polemik karena mengandung sejumlah pasal kontroversial. Kalangan buruh menyoroti sejumlah pasal yang dianggap merugikan mereka.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyoroti, di antaranya soal upah minimum yang berpotensi berkurang bagi buruh tingkat kabupaten/kota dan ketentuan kerja kontrak.
Pasal 88C ayat (1) mengatur gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. Ayat (2) berbunyi upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upah minimum provinsi. Presiden KSPI Said Iqbal aturan itu berpotensi menghapus aturan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK) yang nilainya umumnya lebih besar dari UMP.
Sementara soal kerja kontrak, Said menyoroti potensi kontrak seumur hidup. Sebab Omnibus Law Cipta Kerja menghapus pasal 59 UU Ketenagakerjaan yang mengatur perusahaan hanya boleh mengontrak tenaga kerja dalam batas waktu tertentu.
Berdasarkan poin-poin keberatan buruh, Rocky menyebut Omnibus Law Cipta Kerja hanya akan menciptakan kesengsaraan bagi kaum buruh serta lingkungan. Padahal, kata dia, UUD 1945 menjamin tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.
"Konsekuensi cuma dua, itu tekan uang buruh, rusak lingkungan, selesai," lanjutnya. Rocky bilang polemik dalam Omnibus Law Ciptaker ini akan memancing kembali amarah rakyat. "Saya menganggap bawah ini momentum untuk mengaktifkan ulang kemarahan publik yang selama ini tertunda akibat berbagai macam isu sampingan," ujar dia. (GA)