Catatan Akhir Tahun Komnas Perlindungan Anak

“Darurat Kekerasan terhadap Anak Memasuki Fase Abnormal”


Selasa,15 Desember 2020 - 08:39:16 WIB
“Darurat Kekerasan terhadap Anak Memasuki Fase Abnormal” sumber foto riaubisnis.id

Meski Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menetapkan Indonesia darurat kekerasan terhadap anak, kondisi itu tidak beranjak dan menurun, bahkan kasus kekerasan anak semakin meningkat terlebih sejak pandemi Covid 19 menyerang Indonesia di awal Maret 2020.

Levelnya semakin mengerikan sehingga tahun 2021 kasus kekerasan terhadap anak tidak lagi pada posisi darurat tapi sudah berada di level abnormal dan lndonesia di ambang ancaman “Lost Generation,” demikian ditegaskan oleh Arist Merdeka Sirait Dewan Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak Indonesia dalam rilis yang riaubisnis.id terima berdasarkan konferensi pers Catatan Akhir Tahun 2020, Senin 14 Desember 2020 di kantor Komnas Perlindungan Anak Indonesia, Jakarta.

Arist menegaskan,” Kasus kekerasan Terhadap anak di Indonesia yang sudah masuk pada fase abnormal itu menjadi alasan tahun 2021 Indonesia berada di ambang ancaman Lost Generation,” Ungkapnya. Sekjen Komnas perlindungan Anak Dhanang Sasongko membacakan Press Rilis Catatan Akhir tahun 2020, disebutkan bahwa Kondisi abnormal lebih tragis dari darurat, pasalnya kasus kekerasan terhadap anak tidak lagi sekadar dihadapi pada situasi yang memerlukan penanganan dari semua pihak, tapi bentuk-bentuk kejahatan terhadap anak baik kejahatan seksual, kekerasan flsik, verbal dan lainnya sudah masuk dalam tahap abnormal.

Bentuk lain dari ketidakwajaran yang semestinya tidak mungkin terjadi, justru secara faktual terjadi ditengah lingkungan sosial anak. Lebih parahnya fakta abnormal itu dianggap oleh masyarakat sebagai sesuatu yang biasa, demikian juga dimata para penegak hukum situasi abnormal juga masih diletakkan sebagai tindak pidana biasa.

Sikap itu juga merupakan sikap abnormal sehingga ancaman tahun 2021 kedepan adalah sangat serius. Lebih menakutkan lagi fakta menunjukkan bahwa situasi abnormal itu lebih mengerikan dari kondisi darurat. Kalau situasi darurat itu adalah situasional tapi kalau kondisi abnormal yakni kondisi yang tidak terbayangkan dan terpikirkan Justru kenyataannya terjadi. Contoh banyak kasus “Geng Rape” (pemerkosaan bergerombol) yakni 1 korban namun pelakunya lebih dari satu misalnya. Kasus ini terjadi di hampir semua tempat.

Peristiwa yang sama, korbannya adalah anak yang tidak saja mendapatkan perlakuan keji dari para pelaku dan berakhir pada hilangnya nyawa korban yang dilakukan oleh orang terdekat korban. Kasus lain yang termasuk abnormal, ada seorang ibu yang mempelakukan anak kandungnya sendiri untuk melampiaskan kemarahannya terhadap suaminya dengan merendam bayinya ke dalam bak mandi sampai meninggal dunia. Bahkan sangat tidak masuk akal, seorang ibu kandung menghukum anaknya dengan cara mengikat anaknya di sebuah pohon dan menyiram tubuhnya menggunakan air panas dan air keras, lalu membakar anaknya hidup-hidup.

Fakta lain dari pelakuan abnormal kekerasan terhadap anak dalam kasus incest (persetubuhan sedarah) biasanya kasus tersebut terjadi pada anak perempuan yang dirudapaksa Ayah kandungnya , namun fakta lain ada seorang ibu di Sukabumi justru menjadi pelaku kejahatan seksual incest terhadap dua anak Iaki-laki kandungnya sendiri, “lni kan sesuatu yang tidak normal lagi”.

Tindakan semacam ini sudah terbilang “abnormal”, dimana seorang ibu yang dari rahimnya sendiri lahir anak tapi memperlakukan anaknya seperti itu bahkan banyak anak berujung meninggal dunia. Catatan dan fakta-fakta pelanggaran hak-hak dasar anak telah menjadi catatan yang memilukan bagi masa depan anak Indonesia. Banyak anak di hampir semua tempat mengalami berbagai bentuk serangan kekerasan yang tidak bisa diterima akal sehat manusia alias Abnormal.

Situasi anak Indonesia berada pada situasi tidak normal. Oleh karenanya tidaklah berlebihan bila Komnas Perlindungan Anak mengatakan, bahwa serangan kekerasan terhadap anak dan pelanggaran hak dasar anak yang terjadi sepanjang tahun 2020 ini sudah berada pada level Abnomal dan tahun 2021 Indonesia diambang ancaman kehilangan generasi masa depan atau Lost Generation.

Bukankah Komnas Pedindungan Anak harus berani mengajak agar masyarakat, penegak hukum dan semua elemen masyarakat tidak menganggap fakta ini sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja dan pidananya juga masuk dalam kategori tidak pidana biasa.

Kalau ini tidak disikapi dengan cepat dan tepat, maka sangatlah jelas dan bisa dipastikan bahwa ancaman kehilangan generasi tersebut bakal terjadi di Indonesia bahkan dalam waktu singkat akan berpengaruh terhadap runtuhnya ketahanan keluarga Indonesia. Sesungguhnya perangkat hukum dan regulasi serta aturan untuk memutus mata rantai kekerasan terhadap anak sudah cukup lengkap.

Bahkan setelah Indonesia meratifikasi Konvensi PBB Hak Anak tahun 1990, Indonesia merupakan negara yang memiliki perangkat hukum paling banyak dan lengkap untuk memberikan perlindungan terhadap anak.

Program edukasi, preventif, deteksi dini dan intervensi kasus juga sudah dilakukan namun tetap saja kekerasan terhadap anak terjadi yang grafiknya terus meningkat sehingga sudah masuk dalam kategori abnormal dengan ancaman terburuk hilangnya Generasi masa depan, hal itu terjadi disebabkan Indonesia tidak memiliki eksekutor yang benar-benar menjadi teladan bagi anak-anak.

Eksekutor utama Perlindungan Anak itu sebenarnya adalah keluarga. Keluarga adalah benteng yang tangguh untuk memberikan dan memastikan perlindungan anak. Nanum fakta menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak yang terjadi disebabkan oleh runtuhnya ketahanan keluarga. Secara faktual runtuhnya ketahanan keluarga itu akibat hilangnya keteladanan dan panutan dari orang tua sudah mulai hancur.

Orangtua atau keuarga sudah tidak Iagi menjadi teladan bagi anak-anaknya. Keadaan ini diperparah dengan tergerusnya fungsi ayah sebagai imam dalam keluarga, akibatnya anak tidak mempunyai pegangan dan rasa nyaman selama tinggal di rumah.

Kondisi ini diperparah lagi dengan munculnya serangan corona yang berakibat bertambahnya jumlah pelanggaran hak-hak dasar anak. Kasus lain yang memastikan bahwa pelanggaran hak dasar memasuki fase Abnormal, bangsa ini dikagetkan dengan sebuah peristiwa pembantaian tiga orang anak balita usia 5, 4 dan 2 tahun oleh ibu kandung di Nias Sumatera Utata dengan cara menggorok Ieher anaknya hingga putus, lantaran kemiskinan.

Tindakan abnormal lainnya terjadi juga di salah satu desa di Kabupaten Deliserdang dan di Kabupaten Serdang Bedagai Sumatera Utara. Adalah seorang ayah kandung melakukan kejahatan seksual berupa incest (persetubuhan sedarah) yang dilakukan 4 dan 8 tahun. Satu pelaku meninggal dunia setelah mendekam di tahanan.

Peristiwa Abnormal yang sama juga terjadi di Kabupaten Tobasa. Di desa Silaen Kabupaten Tobasa terjadi kejahatan seksual dalam betuk incest yang dilakukan ayah dan paman kadungnya terhadap anak dan ponakan secara bersama sampai korban melahirkan anak. Kejahatan Seksual Abnomal juga dirasakan 2 orang anak kakak beradik usia 12 den 7 tahun di Dusun Sitanggang, Kecamatan Lumbanjulu, Kabupaten Tobasa selama 4 tahun yang dilakukan oleh orangtua kandung korban.

Situasi Abnormal adalah, korban dan ibunya justru diusir penduduk dari tempat tinggalnya karena dianggap korban membawa sial dan aib bagi penduduk dan kampung.

Peristiwa Abnormal juga terjadi di Bekasi dimana seorang anak (17) berprofesi sebagai pengamen, 8 orang anak menjadi korban pembunuhan dan penghilangan secara paksa hak hidupnya dengan cara dimutiIasi. Ialu diambil dagingnya kemudian dijual ke warung (lapo) makanan yang dilakukan 5 orang diantaranya masih berusia anak.

Catatan KOMNAS Perlindungan Anak sampai akhir tahun 2020, telah menerima laporan pengaduan pelanggaran hak anak mencapai 2. 729 kasus dimana 52 % kasus didominasi Oleh kekerasan seksual, selebihnya kekerasan fisik dan verbal bahkan tindakan dan perlakuannya sudah masuk pada tindakan dan perlakuan abnormal.

Melihat keadaan dan situasi anak saat ini masih banyak masyarakat, pemerintah dan negara ikut membiarkan dan tidak berbuat untuk memberikan pertolongan dan perlindungan bagi anak dan menganggap kejahatan terhadap anak dianggap biasa ini merupakan tindakan abnormal juga. Artinya jika kita melihat pelanggaran hak anak tapi tidak berbuat dan menolong sementara mereka membutuhkan pertolongan maka tindakan kita dapat disebut juga tindakan abnormal. Keadaan ini dipengaruhi oleh runtuhnya ketahanan keluarga. Rumah tidak lagi ramah dan bersahabat. Fakta menunjukkan, situasi dalam keluarga masa kini yakni “Ada Ayah dan ibu tetapi Tiada”.

Rumah tidak lagi nyaman bagi anak. Ketahanan keluarga sudah runtuh, bahkan keteladan orangtua juga sudah tergerus oleh gajet, media online dan media sosial lainnya. Penyebab utama runtuhnya ketahanan keluarga dan keteladan itu karena anak-anak sudah jauh dari nilai-nilai agama yang berakar dari keluarga itu sendiri. Ayah tidak bisa menjadi imam dalam keluarga yang sempurna dan peran ibu kritis keteladanan sehingga anak mengambil jalan panutan lain seperti intemet melalui media daring.

Oleh karena itu, untuk Memutus Mata Rantai Darurat Kekerasan Abnormal, nilai-nilai agama harus dikuatkan kembali dalam lingkungan keluarga. Rumah harus menjadi tempat yang terus beribadah yang kuat. Kalau ini dapat diwujudkan maka masa depan anak akan terjaga dan kekerasan anak tidak akan terjadi. Sebab pelaku dari kekerasan terhadap anak itu datang dan orang terdekat termasuk ayah, ibu, abang, paman dan atau keluarga terdekat.

Arist Merdeka Sirait mengatakan, untuk mengatasi fase abnormal kekerasan terhadap anak formulasinya adalah Revolusi Gerakan Perlindungan Anak Sekampung. Roestin Illyas salah seorang Dewan Pengawas Komisi Perlindungan Anak, juga mempertegas, 22 tahun Komnas Perlindungan Anak sudah berdiri, namun kondisi kekerasan terhadap anak makin kompleks. Memang sudah seharusnya Komnas Perlindungan Anak tidak bisa berdiri sendiri. Keterlibatan seluruh unsur masyarakat harus dilakukan.

"Tanggung jawab melindungi anak harus mulai dari RT, RT, Ibu ibu pengajian, karang taruna, dan seluruh stake holder dalam negara ini wajib melaksanakannya,” ujarnya.

Mengakhiri sesi acara konferensi pers Catatan Akhir tahun 2020, Lia Latifah anggota Komisioner Komnas Perlindungan Anak mengatakan, untuk tindakan preventif, pendampingan untuk calon pengantin, terkait hak perlindungan anak harus dilakukan lebih intensif, terutama kepada calon orang tua harus tahu bahwa anak anak diserang dengan informasi. "Tapi mereka tidak pernah dibekali cara menangkalnya. Pelatihan khusus untuk para calon pengantin urgent untuk dilaksanakan,” pungkasnya. (GA)


Akses riaubisnis.co Via Mobile m.riaubisnis.co
TULIS KOMENTAR
BERITA LAINNYA

KANTOR PUSAT:
Jl. Arifin Ahmad/Paus Ujung (Komp. Embun Pagi), B 13, Pekanbaru, Riau – Indonesia
CP : 0812 6812 3180 | 0853 7524 1980
Email: [email protected]