Pertanyaan:
Bapak Pengacara dan Konsultan Hukum, Parlindungan, SH MH CLA di Kota Pekanbaru yang kami hormati. Saya adalah seorang karyawan tetap (PKWTT) di salah satu perusahaan pabrik pegelolaan kayu di Sumatera Utara. Saya telah bekerja selama 8 tahun dan jabatan terakhir saya sebagai supervisor. Dalam bekerja, saya terungkap oleh manajemen, telah melakukan penggelapan uang perusahaan. Setelah dilakukan audit internal perusahaan, saya dinyatakan untuk di-PHK (pemutusan hubunga kerja). Namun, atas PHK tersebut, saya tidak diberikan pengasong. Apakah kalau saya di-PHK atas perbuatan saya tersebut, apakah saya tidak berhak mendapatkan pesangon? Atas jawaban Bapak Parlindungan diucapkan terima kasih.
J. Sihombing, di Provinsi Sumatera Utara.
Jawaban:
Bapak J. Sihombing, terima kasih sudah melayangkan pertanyaan kepada Kantor Hukum Parlindungan, SH MH CLA dan Rekan. Terhadap pertanyaan Bapak, kita akan kupas berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Atas pertanyaan Bapak, dapat saya tarik kesimpulan, kalau Bapak diduga telah melakukan kesalahan berat saat bekerja di perusahaan tempat Bapak bekerja, sehingga Bapak di-PHK. Bisa saja, PHK dilakukan akibat pelanggaran bersifat mendesak. Kesalahan berat ini, dulunya diatur melalui Pasal 158 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang selanjutnya dihapus dan diganti dengan Pasal 81 angka 47 UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Sebagai turunan UU Cipta Kerja dimaksud, mengenai PHK ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja, yang salah satu pembahasan dalam PP ini menyinggung tentang pelanggaran berat atau yang disebut sebagai “pelanggaran bersifat mendesak”.
Pengusaha dapat mem-PHK pekerja karena melakukan pelanggaran bersifat mendesak yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (PKB) (lihat Pasal 52 ayat (2) PP No.35 Tahun 2021). Misalkan pelanggaran berat dimaksud adalah, melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan; memberikan keterangan palsu atau dipalsukan sehingga merugikan perusahaan; mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja; melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja; menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja; membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan; dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja; membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 tahun atau lebih.
Dipertegaskan kembali, jika pelanggaran tersebut di atas terjadi, pengusaha dapat langsung mem-PHK pekerja, tanpa perlu adanya putusan pengadilan untuk dibuktikan dinyatakan bersalah. Akan tetapi, ketentuan mengenai pelanggaran tersebut harus diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau PKB.
Pengaturan PHK Karyawan yang Melakukan Tindak Pidana
PHK karena melakukan tindak pidana termasuk PHK yang tidak dapat pesangon. Artinya, pesangon karyawan/buruh bermasalah karena tindak pidana tidak perlu dibayar oleh pengusaha. Kendati demikian, pengusaha tetap wajib memberikan hak karyawan/buruh yang melakukan tindak pidana tanpa ada menunggu putusan pengadilan. Hal ini diatur dalam Pasal 54 PP Nomor 35 Tahun 2021.
Jika tindak pidana tersebut menyebabkan kerugian perusahaan maka pekerja/buruh berhak atas: uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4); dan uang pisah yang besarannya diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Ketentuan PHK karena melakukan tindak pidana Pasal 54 ayat (1) menegaskan, pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja/buruh karena alasan pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 bulan akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana.
Hak Karyawan di-PHK Akibat Pelanggaran Berat/Pidana
Apabila memang telah diatur sebagai pelanggaran yang bersifat mendesak akibat karyawan/buruh melakukan pelanggaran berat di perusahaan, jika terjadi PHK, seperti yang ditegaskan Pasal 52 ayat (2) PP Nomor 35 Tahun 2021, maka si karyawan/buruh yang di-PHK tersebuta berhak atas dua hak, yakni uang penggantian hak; dan uang pisah yang besarannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau PKB.
Lebih lanjut, jika pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum berakhirnya masa 6 bulan dan pekerja/buruh dinyatakan tidak bersalah, maka pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh kembali. Uang penghargaan dan penggantian hak PHK melakukan tindak pidana memang termasuk PHK yang tidak dapat pesangon. Meski begitu, pekerja tetap memiliki sejumlah hak seperti yang dijelaskan sebelumnya.
Adapun rumus perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (3) adalah sebagai berikut: masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah; masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah; masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah; masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah; masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah; masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah; masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah; dan masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan upah.
Besaran uang penggantian hak Pasal 43 ayat (4), meliputi: cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur; biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/ buruh diterima bekerja; dan hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau PKB.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.(*)
Bagi yang ingin mengajukan pertanyaan seputar hukum, dapat mengirimkan pertanyaan ke email: [email protected]
Kantor Hukum Parlindungan, SH. MH. CLA & Rekan
(Advokat, Konsultan Hukum, Auditor Hukum, dan Perancang Naskah Hukum)
Jl. Soekarno-Hatta, No. 88, Kota Pekanbaru
Handphone/WA: 081268123180
Instagram: @parlindungan.riau