Apa itu Nafkah Iddah dan Muth'ah Pascacerai?


Selasa,02 Agustus 2022 - 15:52:36 WIB
Apa itu Nafkah Iddah dan Muth'ah Pascacerai? Parlindungan, SH. MH. CLA (Advokat, Konsultan Hukum, & Auditor Hukum) (foto: riaubisnis)

Pertanyaan:

Bapak Pengacara dan Konsultan Hukum, Parlindungan, SH MH CLA di Kota Pekanbaru yang kami hormati. Saya digugat cerai oleh suami saya. Lalu, saya dapat masukan dari tetangga saya, kalau saya bisa mendapatkan uang nafkah iddah dan uang muth’ah dari suami yang menggugat cerai istrinya. Kalau saya ingin mendapatkan penjelasan lebih terang dari Bapak, apa itu uang nafkah iddah dan uang muth’ah? Atas jawaban Bapak Parlindungan saya ucapkan terima kasih.

Jerika, di Pekanbaru.

Jawaban:

Ibu Jerika di Pekanbaru, terima kasih sudah melayangkan pertanyaan kepada Kantor Hukum Parlindungan, SH MH CLA dan Rekan. Dapat kami terangkan, apa itu “iddah?”. Secara pemaknaan, “iddah” adalah “menghitung/hitungan suatu masa bagi seorang wanita” atau yang sering disebut sebagai “masa tunggu”.

Hitungan Iddah

Tentang hitungan di sini adalah masa sucinya/haid/bilangan bulan menunggu untuk dapat melangsungkan perkawinan selanjutnya. Dapat melangsungkan perkawinan di sini dihitung setelah cerai mati (wafatnya suami) atau karena perceraian/perpisahan hidup dengan suaminya akibat jatuh talak, dengan maksud untuk mengetahui kondisi rahimnya.

Melaksanakan Iddah hukum adalah wajib bagi mantan istri yang dicerai atau ditinggal mati oleh suaminya, sehingga pascaterjadi perceraian, seorang mantan istri tidak dibenarkan untuk dapat langsung kawin/menikah dengan orang lain sebelum sampai habisnya masa iddah tersebut. Bagaimana, kalau wanita itu hamil? Maka, masa iddah-nya/tunggunya akan berakhir sampai ia melahirkan.

Dapat ditarik kesimpulan, kalau seorang wanita/istri yang telah putus perkawinannya akibat perceraian dengan suami, lalu akibat putusan pengadilan, atau akibat kematian suaminya, maka berlaku baginya masa iddah. Tidak wajib baginya iddah, kecuali jika wanita tersebut belum pernah dicampuri (berhubungan badan/senggama) suaminya sampai masa berakhirnya/putusnya perkawinan.

Jika, wanita/mantan istri tersebut dalam keadaan tidak hamil pascacerai, ada tiga kemungkinan masa iddah-nya sejak putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (incrahct), yakni: pertama, apabila si wanita masih menstruasi, maka masa iddah-nya adalah tiga kali masa haid; Kedua, apabila si wanita tidak mengalami masa menstruasi, maka masa iddah-nya si wanita adalah selama tiga bulan/90 hari. Dan ketiga, masa iddah bagi isteri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu haid.

Namun, apabila si wanita/istri cerai akibat ditinggal wafat suaminya, masa iddah-nya (tidak dalam keadaan hamil) adalah empat bulan sepuluh hari (130 hari), baik dia telah melakukan hubungan badan dengan suaminya ataupun belum melakukan hubungan badan. Kalau si wanita ditinggal wafat suaminya itu dalam keadaan hamil, maka masa iddah-nya sampai si wanita melahirkan. (Baca Pasal 153 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam)

Apa itu Nafkah Iddah

“Nafkah iddah” dapat diartikan sama dengan nafkah yang diberikan oleh mantan suami yang telah putus perkawinannya akibat perceraian dengan suami dan atau dinyatakan cerai akibat putusan pengadilan sejak putusan pengadilan dinyatakan berkekuatan hukum tetap (incrahct). 

Mengenai “nafkah”, dasar hukumnya dapat dibaca pada Pasal 80 Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengenai kewajiban suami yang berkaitan dengan nafkah, yaitu: Pasal 80 Ayat 2; “Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.”

Pasal 80 Ayat 4; “Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung: a. Nafkah, Kiswah dan tempat kediaman bagi Istri; b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi Istri dan anak; c. Biaya pendidikan bagi anak.”

Tidak adanya penjelasan mengenai ukuran atau penetapan/besaran nafkah yang secara spesifik, terutama mengenai nafkah ini. Sehingga, yang dijadikan standar dalam ukuran nafkah istri adalah keadaan dan kemampuan perekonomian suami untuk memenuhi mencakup pangan, pakaian, dan tempat tinggal.

Lalu, bagaimana pemberian besaran nafkah iddah bagi mantan suami terhadap mantan istri yang diceraikannya? Bahwa, yang dijadikan ukuran besaran untuk diberikan nafkah iddah terhadap mantan istrinya adalah, berdasarkan kondisi keuangan/perekonomian mantan suami, bukan berdasarkan kondisi kebutuhan mantan istri.

Apa itu Muth’ah?

Pengertian lain “nafkah” dalam perceraian juga diartikan sebagi “muth'ah”, yang berarti pemberian seorang suami kepada isterinya yang diceraikan, baik itu berupa uang, pakaian, atau pembekalan apa saja sebagai penghormatan atau bantuan kepada isterinya untuk menghindari dari kekejaman akibat ditajuhkannya talak. Tentunya besaran nafkah muth’ah ini disesuaikan dengan kemampuannya sang mantan suami.

Bisa juga nafkah muth'ah ini diartikan sebagai “penghibur” untuk mendapatkan kesenangan kepada sang istri yang diceraikan suaminya. Tujuan pemberian muth’ah suami terhadap isteri yang telah diceraikannya adalah, bagaimana dengan adanya pemberian muth’ah tersebut dapat menghibur atau menyenangkan hati isteri yang telah diceraikan dan dapat menjadi bekal hidup bagi mantan isteri tersebut.

Nafkah muth’ah, dapat dilihat pada Pasal 149 butir pertama pada Kompilasi Hukum Islam, yakni: “Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: memberikan muth’ah yang layak kepada bekas istrinya baik berupa uang atau benda kecuali bekas isteri tersebut qabla dukhul.”. Nafkah muth’ah adalah pemberian suami kepada istri yang diceraikannya sebagai kompensasi.

Pasal 158 Kompilasi Hukum Islam juga menegaskan: “Mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat: Belum ditetapkan mahar bagi isteri ba’da dukhul; dan Perceraian itu atas kehendak suami.”

Kapan Nafkah Iddah dan Muth’ah Diberikan?

Kewajiban seorang mantan suami untuk memberikan nafkah iddah dan nafkah muthah kepada istri yang diceraikannya, tertunya didasarkan pada putusan hakim yang menangani perkara perceraian yang diajukan tersebut. Pada Pasal 41 huruf c UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyatakan: “Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: …., c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.”

Tidak terdapat ketentuan mengenai batas waktu pembayaran nafkah iddah dan nafkah muth’ah dalam peraturan perundang-undangan. Bahwa, urusan ikrar talak dan beban kewajiban membayar nafkah iddah dan maupun nafkah muth’ah, harus diperlakukan sebagai peristiwa hukum yang saling berkaitan juga.

Sebahagian kalangan menilai, seorang suami harus dinyatakan terlebih dahulu telah menceraikan isterinya sebelum ia dibebani/dihukum untuk membayar nafkah iddah atau muth’ah. Namun, apabila dikaitkan dengan permasalahan eksekusi/melaksanakan isi putusan majelis hakim untuk menyerahkan nafkah iddah dan nafkah muth’ah setelah diucapkan ikrar talak, maka  dinilai lebih rumit. Hal ini terjadi apabila suami telah mengucapkan ikrar talak, namun tidak melaksanakan kewajibannya untuk membayar nafkah iddah dan nafkah muth’ah.

Hal inilah yang menyebabkan majelis hakim pengadilan agama umumnya menyarankan, agar pembayaran nafkah iddah dan nafkah muth’ah dilakukan terlebih dahulu kepada istri yang hendak diceraikannya. Bahkan, tidak jarang dijumpai hakim yang menunda pengucapan ikrar talak dan memberikan batas waktu pembayaran nafkah iddah dan nafkah muth’ah terlebih dahulu.

Terkait pengucapan ikrar talak di pengadilan, Pasal 131 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam memberikan waktu paling lama 6 (enam) bulan. Pelaksanaannya juga, apabila suami tidak mengucapkan ikrar talak paling lama 6 (enam) bulan dihitung sejak putusan pengadilan agama melalui majelis hakim tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan hukum tetap, maka hak suami untuk mengikrarkan talak dinyatakan gugur, dan ikatan perkawinan dianggap tetap utuh.

Istri Gugat Suami, Apakah Bisa Dapat Nafkah Iddah dan Muth’ah?

Seperti yang dijelaskan sebelumnya di atas, kalau pada Pasal 149 butir pertama pada Kompilasi Hukum Islam, yakni: “Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: memberikan muth’ah yang layak kepada bekas istrinya baik berupa uang atau benda kecuali bekas isteri tersebut qabla dukhul.”

Kemudian, Pasal 158 Kompilasi Hukum Islam juga menegaskan: “Mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat: Belum ditetapkan mahar bagi isteri ba’da dukhul; dan Perceraian itu atas kehendak suami.”

Dari dasar hukum di atas dapat diklaim, kalau nafkah iddah dan muth’ah akan didapati bagi sang mantan istri yang telah diceraikan suaminya, apabila sang mantan suami yang mengajukan gugatan perceraian (cerai talak) di pengadilan.

Saya berbicara pengalaman dari Kantor Hukum Parlindungan, SH MH CLA dan Rekan, saat pendampingan klien kami seorang istri (sebagai penggugat) saat ajukan gugatan cerai terhadap suaminya. Dalam ajukan gugatan, kami memasukkan dalil dan tuntutan agar sang suami memberikan nafkah iddah dan muth’ah kepada penggugat.

Seiring waktu berjalan selama persidangan, majelis hakim memutuskan, kalau klien kami (mantan istri) berhak untuk mendapatkan nafkah iddah dan muth’ah dari mantan suaminya. Perkara Nomor: 720/Pdt.G/2022/PA.Pbr di Pengadilan Agama Pekanbaru ini sudah berkekuatan hukum tetap dan telah dijalankan putusannya.

Terhadap pertanyaan Ibu Jerika, apakah Ibu bisa mendapatkan nafkah iddah dan muth’ah dari suaminya yang mengajukan gugatan, seyogyanya Ibu Jerika bisa mendapatkan hak nafkah iddah dan muth’ah dari mantan suaminya karena ada dasar hukum yang mengarur demikian.   

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.(*)

Bagi yang ingin mengajukan pertanyaan seputar hukum, dapat mengirimkan pertanyaan ke email: [email protected]

Kantor Hukum Parlindungan, SH. MH. CLA & Rekan

(Advokat, Konsultan Hukum, Auditor Hukum, dan Perancang Naskah Hukum)

Jl. Soekarno-Hatta, No. 88, Kota Pekanbaru

Handphone/WA: 081268123180

Instagram: @parlindungan.riau


Akses riaubisnis.co Via Mobile m.riaubisnis.co
Baca Juga Topik #Konsultasi Hukum
Capim Alexander Marwata Beberkan Voting Penetapan Tersangka KPK Bagaimana Cara Mengajukan Gugatan Perdata Tanpa Pengacara? Masalah Ketenagakerjaan dan Konsistensi UU Ketenagakerjaan UU Perkawinan Dirubah, Sekarang Ini Dia Syarat Minimal Usia Pernikahan Ini Dia Daftar UMP 2020 di 34 Provinsi Perbedaan Tenaga Kerja dengan Serikat Pekerja Di dalam Perusahaan, Apa Perbedaan PP dengan PKB? Kenapa Gugatan Saya Cacat Hukum? Ini Sebabnya! Kuasa Hukum Vadhana International Laporkan Bukopin ke OJK dan YLKI Aspek Hukum yang Harus Diketahui bagi Penanam Modal Asing di Indonesia Hanya Ingin Meeting di Indonesia, Bagaimana Status Izin Orang Asing? Dalam Sektor Bisnis, Apa itu DNI? Tata Cara Perizinan Berusaha Sektor Perkebunan Benarkah Izin Mendirikan Bangunan Dihapus? Apakah Bisa Dipidana Akibat Tidak Mampu Membayar Utang? Apakah Benar PP Nomor 35 Tahun 2002 Juga Mengatur tentang HPK dan APL? Sengketa Tanah, Digugat karena Melakukan Perbuatan Melawan Hukum Kapan Berlakunya Penyelenggaraan Tapera bagi Perusahaan? Apakah Boleh Memiliki Airsoft Gun? Bingung Membedakan Perjanjian, Kontrak, dan Kesepakatan? Perbedaan Penyelidikan, Penyidikan? Dan Apa Pula Tahap II? Pajak Kendaraan Alat Berat, Masih Boleh Dipungut atau Tidak? PHK akibat Kesalahan Berat, Bolehkah? Kantor Hukum Parlindungan Somasi Dua Money Changer di Kota Pontianak Bea Meterai Rp10.000 Berlaku, Meterai Rp6.000 dan Rp3.000 Masih Bisa Dipakai? Bagaimana Cara Penyelesaian Ketidaksesuaian Kawasan Hutan dalam RTRWP? Wajibkah Perusahaan Beri THR Kepada Karyawan Resign? Ini Penjelasan Hukumnya Apakah Karyawan PKWT Berhak Mendapatkan THR Keagamaan? Apakah Boleh Seorang Karyawan Difasilitasi Senjata Api? Mencuri Uang Ibunya, Bisakah Anak Kandung Dituntut? Ini Hak Karyawan Jika Mengundurkan Diri Bisakah Jalan Putus Dijadikan Alasan Force Majeur? Siapa Menentukan Jabatan dan Gaji Dewan Komisaris? PPKM Rugikan Masyarakat, Bisakah Presiden Digugat Class Action “Saya Mau Ajukan Gugatan Cerai di Kota Bukan Tempat Perkawinan Saya” Pengaturan Sanksi Pidana Menurut KUHP dan di Luar KUHP Tidak Melunasi Sisa Pembayaran, Bisakah Uang Muka Hangus? Kajian Singkat tentang Banding, Kasasi, dan PK Parlindungan jadi Narasumber Teknik Penyusunan Gugatan Class Action Hak Karyawan di-PHK Akibat Pelanggaran Berat/Pidana menurut UU Cipta Kerja Hukuman Mati dan Penjara Seumur Hidup di Indonesia
TULIS KOMENTAR
BERITA LAINNYA

KANTOR PUSAT:
Jl. Arifin Ahmad/Paus Ujung (Komp. Embun Pagi), B 13, Pekanbaru, Riau – Indonesia
CP : 0812 6812 3180 | 0853 7524 1980
Email: [email protected]