PPJB dan Konsekuensi Putus Perjanjian Sepihak

Tidak Melunasi Sisa Pembayaran, Bisakah Uang Muka Hangus?


Senin,27 September 2021 - 16:25:28 WIB
Tidak Melunasi Sisa Pembayaran, Bisakah Uang Muka Hangus? Parlindungan, SH. MH. CLA (Advokat, Konsultan Hukum, & Auditor Hukum) (foto: riaubisnis)

Pertanyaan:

Bapak Pengacara/Advokat dan Konsultan Hukum Parlindungan, SH MH CLA di Kota Pekanbaru, Provinsi Riau yang saya hormati. Saya membeli rumah di Pekanbaru kepada salah satu pengembang/developer perumahan. Sebelum akad kredit, saya sudah memberikan uang muka atau down payment (DP) kepada developer sebesar Rp.40.000.000,- (empat puluh juta rupiah) dari total harga rumah sebesar Rp.250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah). Pada suatu saat, saya mengalami kesulitan uang, sehingga saya memutuskan untuk tidak bersedia melanjutkan pembelian rumah tersebut, dan saya meminta DP yang sudah saya berikan kepada developer untuk dikembalikan. Namun, pihak developer tidak bersedia mengembalikan DP saya, dengan alasan, rumah tersebut sudah dibangun. Kemudian, dijanjikan DP akan dikembalikan setelah rumah yang saya pesan terjual dahulu, dan kalau sudah terjual, DP saya hanya dikembalikan sebesar 5 persen dari total DP yang saya serahkan. Antara saya dengan pihak developer belum mengikatkan diri pada PPJB. Bolehkah demikian menurut hukum?     

Dewi Suparitin di Pekanbaru.

Jawaban:

Ibu Dewi Suparitin, terima kasih sudah mengajukan pertanyaan seputar hukum ke Kantor Hukum Pengacara Parlindungan, SH MH CLA dan Rekan di Pekanbaru, Riau. Dari penjelasan Ibu dapat kami sampaikan, cukup disayangkan dari aktivitas jual beli rumah antara Ibu dengan pihak developer belum melakukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB).

Perlu Ada PPJB atau Tidak?

Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) merupakan ilustrasi yang menerangkan, ketika adanya transaksi jual beli tanah dan atau bangunan dengan menggunakan perjanjian pendahuluan menyepakati sejumlah klausul-klausul sebelum diikatkan dengan pembuatan Akta Jual Beli (AJB) hak atas tanah.

Umumnya, PPJB diikat ketika si konsumen/calon pembeli tanah dan atau bangunan sudah memberikan uang muka/DP/panjar/tanda jadi kepada si penjual tanah dan bangunan sebagai ikatan dasar saling percaya. Kemudian diikat melalui PPJB, dan sambil menunggu pemenuhan isi-isi dalam PPJB tersebut, maka selajutnya dibuatkan AJB di kantor pejabat pembuat akta tanah (PPAT).

PPJB merupakan ruang lingkup perkara hukum perdata dan wajib memenuhi unsur yang dinyatakan dalam syarat sahnya perjanjian pada Pasal 1320 KUHPerdata. Pasal 1320 KUHPerdata ini memuat empat syarat sah suatu perjanjian, yakni, ada kata sepakat para pihak yang mengikatkan dirinya, lalu harus cakap untuk membuat suatu perikatan, kemudian yang diperjanjikan adalah suatu hal tertentu, dan terakhir objek perjanjian adalah suatu sebab yang halal.

Sebagai bahan pertimbangan kelanjutan tentang syarat sah perjanjian Pasal 1320 KUHPerdata, perjanjian yang disepakati didasari oleh Pasal 1338 KUH Perdata, yakni: “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Dengan adanya PPJB yang dibuat di hadapan notaris, merupakan akta otentik. Tentang PPJB bisa dilihat dalam Pasal 1868 KUHPerdata. Akta otentik yang dibuat di hadapan notaris, mempunyai kekuatan pembuktian yang sangat sempurna apabila terdapat sengketa terhadap pemenuhan isi perjanjian (baca Pasal 1870 KUHPerdata). Bahkan, dengan akta otentik ini, memberikan kekuatan para pihak beserta ahli waris atau orang-orang yang mendapatkan hak dari atas perjanjian yang diperjanjikan.

PPJB transaksi jual beli tanah dan atau bangunan, apabila didasarkan pada syarat sahnya perjanjian, maka kedudukan hukum dari perjanjian jual beli tersebut sah dan mengikat. Namun, pada sejumlah perkara, pada praktiknya, meskipun mengikat, ternyata PPJB masih ada celah untuk diingkari dan salah satu pihak tidak konsisten.

Umumnya, isi dalam PPJB adalah tentang bagaimana pengalihan hak, pembatalan perjanjian, hak dan kewajiban para pihak, dan juga memuat bagaimana cara penyelesaian perselisihan. Semuanya ini mengatur sejumlah unsur yang belum terpenuhi, dan tidak bisa dianggap sebagai alas hak kepemilikan tanah, karena bukti pengalihan baru terjadi ketika ada AJB.

Lalu, bagaimana dengan permasalahan Ibu Dewi yang belum sempat melakukan PPJB saat transaksi jual beli tanah dan bangunan? Karena syarat sah perjanjian yang dinyatakan dalam Pasal 1320 KUHPerdata tidak memuat salah satu poinnya tentang “perjanjian harus dibuat secara tertulis”, maka perjanjian lisan yang telah terjadi antara Ibu Dewi dengan pihak developer, sudah dikategorikan sah sepanjang ada pengakuan dan tidak ada pertentangan satu sama lainnya. 

Perjanjian Dibatalkan, Hanguskah Uang Muka?

Pasal 1464 KUHPerdata menegaskan, “Jika pembelian dilakukan dengan memberi uang panjar/uang muka, maka salah satu pihak tidak dapat membatalkan pembelian itu dengan menyuruh memiliki atau mengembalikan uang panjarnya.

Ketika permasalahan yang menimpa Ibu Dewi, pihak developer tidak mengembalikan uang muka/DP yang telah Ibu berikan akibat Ibu Dewi membatalkan perjanjian secara sepihak, maka pihak developer berhak untuk tidak mengembalikannya dengan atas dasar Pasal 1464 KUHPerdata itu. Hangusnya uang muka/DP Ibu sebagai konsekuensi tidak melunasi pembayaran yang dijanjikan.

Tentunya, dari permasalahan di atas, dengan syarat, pengikatan perjanjian antara Ibu Dewi dengan developer adalah sah demi hukum sesuai yang dipersyaratkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Walaupun perjanjiannya tidak dibuat secara tertulis.

Lain hal, ketika pihak developer memberikan kebijakan lain atau berdasarkan kesepakatan para pihak, kalau ada ketentuan lain yang menyatakan, akan ada pengembalian uang muka/DP seluruhnya atau hanya beberapa persen dari total uang buka/DP saja, maka dapat diberlakukan pilihan ini. Intinya, ada kesepakatan para pihak.  

Kata Permen PUPR Nomor: 11 Tahun 2019

Lain hal yang diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Permen PUPR) Nomor: 11/PRT/M/2019 tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah. Pasal 13 ayat 2 Permen PUPR Nomor 11 Tahun 2019 ini memuat ketentuan, “Jika pembatalan pembelian rumah setelah penandatanganan PPJB karena kelalaian pembeli, maka jika pembayaran telah dilakukan pembeli paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari harga transaksi, keseluruhan pembayaran menjadi hak pelaku pembangunan; atau jika pembayaran telah dilakukan pembeli lebih dari 10% (sepuluh persen) dari harga transaksi, pelaku pembangunan berhak memotong 10% (sepuluh persen) dari harga transaksi.”

Selanjutnya, dalam Pasal 13 ayat 1 Permen PUPR dinyatakan, “Dalam hal pembatalan pembelian rumah setelah penandatanganan PPJB karena kelalaian pelaku pembangunan, maka seluruh pembayaran yang telah diterima harus dikembalikan ke pembeli.”

Dari dasar hukum Permen PUPR Nomor: 11/PRT/M/2019 tentang Sistem Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Rumah ini, ketika aktivitas hukum jual belinya didahului oleh PPJB. Sementara, dari perkara Ibu Dewi tidak didahului dengan PPJB. Sehingga ketentuan ini tidak dapat dikaitkan agar Ibu Dewi dapat meminta uang muka/DP dikembalikan walaupun hanya beberapa persen saja dari total uang muka/DP yang telah diberikan kepada developer.

Konsekuensi Hukum Perjanjian Diputus Sepihak

Berdasarkan pengalaman beberapa perkara Kantor Hukum Parlindungan, SH MH CLA dan Rekan tangani, perkara pembatalan perjanjian secara sepihak oleh salah satu pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian sebelum jangka waktu perjanjian berakhir.

Ketika para pihak membuat dan menadatangani perjanjian yang telah sah sesuai syarat sah perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata, namun salah satu pihak menyatakan pembatalan perjanjian secara sepihak, kemudian tidak berhasil diselesaikan permasalahannya secara kekeluargaan untuk mufakat, maka jalan terakhir penyelesaiannya adalah dengan mengajukan gugatan ke pengadilan.

Mengenai perihal gugatannya ke pengadilan secara perdata, salah satu pihak yang dirugikan akibat pembatalan perjanjian secara sepihak tersebut, dapat mengambil kategori “perbuatan melawan hukum” bukan “wanprestasi/ingkar janji”.

Sebagai dasar, permasalahan hukum yang timbul dari pembatalan perjanjian secara sepihak, kami memiliki pendapat, bahwa jika salah satu pihak yang telah mengadakan perjanjian dengan pihak lain, membatalkan perjanjian tersebut secara sepihak, maka pihak yang telah membatalkan perjanjian tersebut secara sepihak telah melakukan perbuatan melawan hukum.

Bahwa salah satu pihak telah membatalkan perjanjian yang dibuatnya dengan pihak lainnya secara sepihak, dikualifikasi sebagai perbuatan melawan hukum karena bertentangan dengan Pasal 1338 KUHPerdata, yaitu “Perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak.”

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.(*)

Bagi yang ingin mengajukan pertanyaan seputar hukum, dapat mengirimkan pertanyaan ke email: [email protected]

Kantor Hukum Parlindungan, SH. MH. CLA & Rekan

(Advokat, Konsultan Hukum, Auditor Hukum, dan Perancang Naskah Hukum)

Jl. Soekarno-Hatta, No. 88, Kota Pekanbaru

Handphone/WA: 081268123180

Instagram: @parlindungan.riau

YouTube: Parlindungan Riau


Akses riaubisnis.co Via Mobile m.riaubisnis.co
Baca Juga Topik #Konsultasi Hukum
Capim Alexander Marwata Beberkan Voting Penetapan Tersangka KPK Bagaimana Cara Mengajukan Gugatan Perdata Tanpa Pengacara? Masalah Ketenagakerjaan dan Konsistensi UU Ketenagakerjaan UU Perkawinan Dirubah, Sekarang Ini Dia Syarat Minimal Usia Pernikahan Ini Dia Daftar UMP 2020 di 34 Provinsi Perbedaan Tenaga Kerja dengan Serikat Pekerja Di dalam Perusahaan, Apa Perbedaan PP dengan PKB? Kenapa Gugatan Saya Cacat Hukum? Ini Sebabnya! Kuasa Hukum Vadhana International Laporkan Bukopin ke OJK dan YLKI Aspek Hukum yang Harus Diketahui bagi Penanam Modal Asing di Indonesia Hanya Ingin Meeting di Indonesia, Bagaimana Status Izin Orang Asing? Dalam Sektor Bisnis, Apa itu DNI? Tata Cara Perizinan Berusaha Sektor Perkebunan Benarkah Izin Mendirikan Bangunan Dihapus? Apakah Bisa Dipidana Akibat Tidak Mampu Membayar Utang? Apakah Benar PP Nomor 35 Tahun 2002 Juga Mengatur tentang HPK dan APL? Sengketa Tanah, Digugat karena Melakukan Perbuatan Melawan Hukum Kapan Berlakunya Penyelenggaraan Tapera bagi Perusahaan? Apakah Boleh Memiliki Airsoft Gun? Bingung Membedakan Perjanjian, Kontrak, dan Kesepakatan? Perbedaan Penyelidikan, Penyidikan? Dan Apa Pula Tahap II? Pajak Kendaraan Alat Berat, Masih Boleh Dipungut atau Tidak? PHK akibat Kesalahan Berat, Bolehkah? Kantor Hukum Parlindungan Somasi Dua Money Changer di Kota Pontianak Bea Meterai Rp10.000 Berlaku, Meterai Rp6.000 dan Rp3.000 Masih Bisa Dipakai? Bagaimana Cara Penyelesaian Ketidaksesuaian Kawasan Hutan dalam RTRWP? Wajibkah Perusahaan Beri THR Kepada Karyawan Resign? Ini Penjelasan Hukumnya Apakah Karyawan PKWT Berhak Mendapatkan THR Keagamaan? Apakah Boleh Seorang Karyawan Difasilitasi Senjata Api? Mencuri Uang Ibunya, Bisakah Anak Kandung Dituntut? Ini Hak Karyawan Jika Mengundurkan Diri Bisakah Jalan Putus Dijadikan Alasan Force Majeur? Siapa Menentukan Jabatan dan Gaji Dewan Komisaris? PPKM Rugikan Masyarakat, Bisakah Presiden Digugat Class Action “Saya Mau Ajukan Gugatan Cerai di Kota Bukan Tempat Perkawinan Saya” Pengaturan Sanksi Pidana Menurut KUHP dan di Luar KUHP Kajian Singkat tentang Banding, Kasasi, dan PK Parlindungan jadi Narasumber Teknik Penyusunan Gugatan Class Action Hak Karyawan di-PHK Akibat Pelanggaran Berat/Pidana menurut UU Cipta Kerja Apa itu Nafkah Iddah dan Muth'ah Pascacerai? Hukuman Mati dan Penjara Seumur Hidup di Indonesia
TULIS KOMENTAR
BERITA LAINNYA

KANTOR PUSAT:
Jl. Arifin Ahmad/Paus Ujung (Komp. Embun Pagi), B 13, Pekanbaru, Riau – Indonesia
CP : 0812 6812 3180 | 0853 7524 1980
Email: [email protected]