Menguji Keseriusan Jokowi Hapus Pasal Karet di UU ITE


Jumat,19 Februari 2021 - 10:53:47 WIB
Menguji Keseriusan Jokowi Hapus Pasal Karet di UU ITE sumber foto cnnindonesia.com

Kelompok Masyarakat Sipil masih menyangsikan niat Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk merevisi Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), sebelum wacana itu benar-benar diwujudkan.

Dilansir dari laman cnnindonesia.com, itu sebabnya Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menanti keseriusan Presiden Jokowi mengkonkretkan ucapan tersebut. Mengingat dari segi kemampuan, dia menganggap pemerintah sebenarnya cukup kuat untuk mengintervensi lolos tidaknya sebuah kebijakan.

Pendapat Asfin bertolok pada mulusnya penerbitan sejumlah undang-undang mulai dari Omnibus Law, revisi Undang-undang KPK hingga, revisi Undang-undang Minerba meski diterpa pelbagai protes publik. "Tinggal kemauan saja. Mau atau enggak, atau cuma lip service saja?" ungkap Asfinawati ketika dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (18/2).

"Kalau menurut saya bukan berani atau tidak, tapi mau atau tidak. Di beberapa kebijakan pemerintah itu dominan sekali terhadap DPR. Semua yang dimaui pemerintah berhasil," tukas Asfin lagi. Presiden Joko Widodo sebelumnya dalam pidato mengutarakan niat untuk merevisi UU ITE jika terbukti tidak bisa memberikan rasa keadilan.

"Kalau Undang-undang ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, ya saya akan minta pada DPR untuk bersama-sama merevisi undang-undang ini," ucap Jokowi dikutip dari kanal YouTube Sekretariat Presiden, Senin (15/2) lalu.

Tapi hingga kini, wacana itu belum juga terang ujungnya. Jokowi sempat menginstruksikan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk menyiapkan revisi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 yang memuat ITE tersebut.

Selain itu juga mengemuka ide lain berupa penyusunan interpretasi resmi UU ITE dari Jokowi. Sementara Menteri Komunikasi dan Informatika Johny G. Plate menyatakan kementeriannya mendukung langkah Mahkamah Agung, Kepolisian, Kejaksaan, bersama kementerian dan lembaga terkait membuat pedoman interpretasi guna memperjelas penafsiran.

Merespons itu, Asfin mengingatkan bahwa permasalahan dalam UU ITE bukan hanya pada penerapan atau implementasi pasal-pasal problematis. Tapi kata dia, pada keberadaan pasal-pasal karet. Itu sebab jika Jokowi tidak menghapus pasal-pasal karet dan justru membuat pedoman interpretasi UU ITE bersama Kominfo, hal tersebut menunjukkan ketidakseriusan.

"Pedoman interpretasi itu akan mengurangi masalah sedikit, tapi tidak akan menyelesaikan seluruh masalah. Karena ada sebagian masalahnya ada di UU, sebagiannya ada di penerapan, tapi memang kebanyakan di pasalnya," jelas Asfin.

Asfin mengungkapkan, UU ITE sempat direvisi pada 2006 akan tetapi sebatas pengurangan masa hukuman. Sedangkan pasal-pasal karet itu tetap ada. Revisi 14 tahun silam itu di antaranya mengubah Pasal 27 Ayat (1) soal kesusilaan, Pasal 27 Ayat (3) soal penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dan Pasal 28 Ayat (2) soal ujaran kebencian.

Misalnya, setelah direvisi dengan dikeluarkan UU Nomor 19 Tahun 2016, ancaman pidana bagi pelanggar Pasal 27 Ayat (3) terkait penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dari yang semula maksimal 6 tahun penjara dan/atau Rp1 miliar menjadi 4 tahun penjara dan/atau Rp750 juta.

Karena itulah Asfin menunggu kesungguhan Jokowi untuk melakukan perubahan substansial dengan menghapus pasal-pasal karet. Jika tidak ada keseriusan maka wacana yang dilontarkan Jokowi perlu dipertanyakan.

Sebab, wacana revisi mengemuka setelah ramainya kritik terhadap kebebasan berpendapat dan turunnya indeks demokrasi di Indonesia. "Kita lihat habis ini. Kalau tidak ada kebijakan yang konkret, berarti betul itu cuma untuk meredam gejolak di masyarakat," tantang Asfin.

Terpisah, Pengamat Politik Universitas Negeri Jakarta Ubedillah Badrun pesimistis Jokowi akan menghapus pasal-pasal karet dan merevisi UU ITE. "Mana berani pemerintah menghapus pasal karet sebab yang buat mereka juga kok saat revisi 2016 lalu," ucap Ubedillah kepada CNNIndonesia.com.

Keraguan Ubedillah itu juga muncul karena melihat sikap Jokowi yang sulit ditebak dan cenderung inkonsisten. Meminjam istilah Ben Blend dalam bukunya, dia menyebut Jokowi sebagai 'Man of Contradiction' atau manusia kontradiktif.

"Beberapa hari lalu Jokowi mengusulkan revisi UU ITE, tiba-tiba menyusul kemudian Menkominfo mengatakan bahwa pemerintah akan membuat interpretasi resmi atas UU ITE. Jelas berbeda narasi, Presiden maunya revisi, sementara narasi Menkominfo narasinya interpretasi resmi. Ternyata kata Menkominfo bahwa ide revisi UU ITE itu atas instruksi Presiden," papar dia lagi.

Kalaupun Presiden Jokowi pada akhirnya memutuskan untuk merevisi UU ITE, maka menurut Ubedillah, bakal muncul masalah baru. Sebab, sikap inkonsistensi tersebut boleh jadi justru berpotensi mengambat proses revisi UU ITE di DPR.

"Partai politik di DPR itu mayoritas pendukung Jokowi tetapi mengalami kesulitan untuk memahami maunya Jokowi dan langkah Jokowi. Jadi akan kesulitan untuk merumuskan konsep revisinya apalagi menyangkut pasal karet," terang dia.

Selain itu, Ubedillah menyimpan kecurigaan yang sama seperti Asfin ihwal wacana revisi UU ITE saat ini. Menurutnya gagasan itu diembuskan tak lain sekadar untuk meredam gejolak di masyarakat dan menutup citra buruk pemerintah.

"Jadi itu upaya Jokowi selain untuk meredam gejolak juga untuk menutupi citra buruk rezim ini di mata internasional karena rilis terbaru The Economist menilai Indeks Demokrasi Indonesia terpuruk dalam 14 tahun terakhir dengan skor 6.30 dengan nilai kebebasan sipil dan budaya politiknya yang merah," tandas Ubedillah.

Desakan Masyarakat Sipil

Koalisi masyarakat sipil yang terdiri atas beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan komunitas pun mendesak kesungguhan Presiden Jokowi dan DPR untuk merevisi UU ITE, serta mencabut semua pasal karet yang kerap jadi alat mengkriminalisasi ekspresi serta pendapat.

Sejumlah lembaga seperti ICJR, LBH Pers, IJRS, Elsam, SAFENet, YLBHI, KontraS, PBHI, Imparsial, LBH Masyarakat, AJI Indonesia, ICW, LeIP, LBH Jakarta, Greenpeace Indonesia, PUSKAPA, Rumah Cemara, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), WALHI yang tergabung dalam koalisi itu merilis daftar pasal-pasal problematis dalam UU ITE.

Merujuk pada data yang dikeluarkan SAFEnet, berikut pasal-pasal karet yang perlu direvisi di antaranya:

  1. Pasal 26 Ayat 3 tentang Penghapusan Informasi Tidak Relevan. Pasal ini bermasalah soal sensor informasi.

  2. Pasal 27 Ayat 1 tentang Asusila. Rentan digunakan untuk menghukum korban kekerasan berbasis gender online.

  3. Pasal 27 ayat 3 tentang Defamasi. Rentan digunakan untuk represi ekspresi legal warga, aktivis, jurnalis/media, dan represi warga yang mengkritik pemerintahan, polisi, dan presiden.

  4. Pasal 28 Ayat 2 tentang Ujaran Kebencian. Rentan jadi alat represi minoritas agama, serta warga yang mengkritik presiden, polisi, atau pemerintah.

  5. Pasal 29 tentang Ancaman Kekerasan. Rentan dipakai untuk mempidana orang yang mau melapor ke polisi.

  6. Pasal 36 tentang Kerugian. Rentan dicuplik untuk memperberat hukuman pidana defamasi.

  7. Pasal 40 Ayat 2 (a) tentang Muatan yang Dilarang. Rentan dijadikan alasan untuk mematikan jaringan atau menjadi dasar internet shutdown dengan dalih memutus informasi hoaks.

  8. Pasal 40 Ayat 2 (b) tentang Pemutusan Akses. Pasal ini bermasalah karena penegasan peran pemerintah lebih diutamakan dari putusan pengadilan.

  9. Pasal 45 Ayat 3 tentang Ancaman Penjara tindakan defamasi. Pasal ini bermasalah karena dibolehkan penahanan saat penyidikan.

(GA)


Akses riaubisnis.co Via Mobile m.riaubisnis.co
TULIS KOMENTAR
BERITA LAINNYA

KANTOR PUSAT:
Jl. Arifin Ahmad/Paus Ujung (Komp. Embun Pagi), B 13, Pekanbaru, Riau – Indonesia
CP : 0812 6812 3180 | 0853 7524 1980
Email: [email protected]