Dengan rilis data tenaga kerja yang membaik, maka ekspektasi kenaikan suku bunga di tahun depan tentunya bisa semakin menguat. Apalagi dengan inflasi yang masih terus menanjak.
Sementara itu kabar baik bagi rupiah datang dari survei Reuters yang dirilis Kamis kemarin. Survei tersebut menunjukkan investor sangat bullish terhadap rupiah. Sebabnya, prospek perekonomian yang membaik, serta harga komoditas yang melonjak tajam.
Harga batu bara, salah satu komoditas ekspor utama Indonesia meroket di tahun ini. Pada 6 Oktober, harga batu bara acuan Ice Newcastle sempat mencapai US$ 280/ton yang merupakan rekor tertinggi sepanjang masa. Sepanjang tahun ini, hingga ke level tersebut, batu bara meroket lebih dari 240%.
Kenaikan harga batu bara tersebut membuat neraca perdagangan Indonesia surplus di bulan September. Badan Pusat Statistik (BPS) Jumat pekan lalu melaporkan neraca perdagangan Indonesia pada September 2021 mencatatkan surplus senilai US$ 4,37 miliar. Ini adalah surplus perdagangan selama 17 bulan beruntun.
Berkat neraca perdagangan yang terus surplus, Bank Indonesia (BI) memprediksi transaksi berjalan (current account) juga diprediksi positif di kuartal III-2021. Untuk sepanjang 2021, transaksi berjalan diperkirakan masih akan defisit tetapi lebih baik dari proyeksi sebelumnya.
"Ke depan, defisit transaksi berjalan akan lebih rendah dari perkiraan sebelumnya menjadi kisaran 0-0,8% dari PDB pada 2021. Defisit transaksi berjalan tetap akan rendah pada 2022 sehingga mendukung ketahanan eksternal Indonesia," ungkap Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia (BI), usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) periode Oktober 2021, Selasa (19/10/2021).
Transaksi berjalan menjadi salah satu faktor yang mendukung penguatan rupiah karena mencerminkan pasokan devisa yang bisa bertahan lama di dalam negeri. Rupiah pun terus menguat hingga menyentuh Rp 14.020/US$ di awal pekan ini. Level tersebut merupakan yang terkuat sejak 18 Februari lalu.
Namun, penguatan tajam rupiah tersebut memicu aksi profit taking yang membuat rupiah melemah dua hari terakhir. Apalagi, harga batu bara saat ini sedang berbalik merosot. Kamis kemarin, harga batu bara ambrol lebih dari 14% dan berada di kisaran US$ 181/ton. Jika di lihat dari rekor tertinggi US$ 280/ton, baru bara sudah jeblok lebih dari 35%. Alhasil, profit taking yang menerpa rupiah di pekan ini, sehingga belum mampu menembus level psikologis Rp 14.000/US$. (RF/ika)