Dalam tiga minggu ini, saya termasuk salah satu yang berbicara keras terhadap Menteri Kehutanan. Sebenarnya yang sedang disorot bukan menteri kehutanan sebagai manusia. Artinya bukan pribadi orangnya. Tapi menteri kehutanan sebagai institusi negara, yang mewakili negara, yang mengambil keputusan kenegaraan, tapi menyangkut hajat hidup orang banyak di republik ini.
Menteri Kehutanan RI pada tahun 2014 mengeluarkan kebijakan mengatasnamakan negara, menyangkut 5 juta rakyat di Provinsi Riau. Mengeluarkan kebijakan tentang kehutanan yang menjadi tugas pokok dan fungsinya. Maka kita dapat membaca SK 878/Menhut-II/2014 tentang Kawasan Hutan Riau. Dari titik itulah permasalahan ini bermula.
Untuk berbicara menyeluruh serata Provinsi Riau, tentu saja saya tidak mempunyai kapasitas mewakili. Tetapi kalau berbicara atas nama 500.000 rakyat yang berada di wilayah Kabupaten Bengkalis, barangkali dapat saya lakukan dengan hati-hati. Tapi yang lebih pas adalah saya berbicara atas nama 52.000 masyarakat kecamatan Bukitbatu & Siakkecil, yang saya wakili di lembaga DPRD Kabupaten Bengkalis.
Akar masalahnya adalah SK 878/Menhut-II/2014 tentang penetapan kawasan hutan Provinsi Riau. Kota Sungaipakning sebagai ibukota kecamatan Bukitbatu, serta desa-desa lain di sepanjang pesisir pantai timur Sumatera, mulai dari desa Tanjung Leban, Sepahat, Tenggayun, Api-api, Temiang, Parit Satu Api-api, Sukajadi, Bukitbatu, Buruk Bakul, Sungaipakning, Dompas, Pangkalan Jambi; seluruhnya ditetapkan oleh Menteri Kehutanan kedalam kawasan hutan, termasuk kantor camat dan kantor-kantor pemerintah daerah lainnya.
Demikian pula desa-desa yang ada di Kecamatan Siakkecil. Mulai dari Lubukmuda, Sungaisiput, Sepotong, Koto Raja, Tanjung Belit, Sumber Jaya, Sungailinau, Tanjung Damai, Langkat, Sadarjaya, Muara Dua, Bandarjaya; semuanya ditetapkan masuk dalam kawasan hutan, tidak terkecuali kantor camat serta bangunan milik pemerintah daerah kabupaten Bengkalis. Yang tidak termasuk dalam kawasan hutan adalah wilayah yang sudah diberikan kepada perusahaan swasta, sedikit areal transmigrasi dan beberapa wilayah yang sudah ditetapkan penggunaannya oleh Menteri Kehutanan.
Sengaja data-data ini saya buka kepada masyarakat luas, agar tidak mengira kami di DPRD ini makan gaji buta. Bahwa 52.000 penduduk di kecamatan Bukitbatu dan Siakkecil, 20 tahun yang akan datang akan berjumlah dua kali, bahkan tiga kali lipat. Oleh sebab itu memerlukan perluasan kota. Sedangkan Menteri Kehutanan sudah memberikan tanah hutan yang begitu luasnya kepada PT. Arara Abadi sebanyak 299.975 hektar; PT. Sekato Pratama Makmur 44.735 hektar; PT. Bukitbatu Hutani Alam seluas 33.605 hektar. Total seluruh tanah dan hutan kawasan Kecamatan Bukitbatu & Siakkecil yang diberikan oleh Menteri Kehutanan kepada perusahaan swasta adalah 378.315 hektar. Ini sama besarnya, bahkan lebih besar dari seluruh wilayah Kabupaten Kepualauan Meranti.
Di kecamatan Pinggir, tempat Bupati Bengkalis, Amril Mukminin, SE., MM., lahir dan dibesarkan, terdapat 7 desa yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan berada dalam kawasan hutan. Di kecamatan Mandau, ada satu atau dua desa yang ditetapkan berada dalam kawasan hutan. Yang menyedihkan kita semua adalah jatuhnya tanah hutan yang besar, seluas 22.930 hektar kepada PT. Rimba Rokan Perkasa; 22.250 hektar tanah hutan kepada PT. Balai Kayang Mandiri dan 5.630 hektar tanah hutan kita kepada PT. Rimba Mandau Mandiri.
Sedangkan kecamatan Rupat dan Rupat Utara adalah musibah. Mengapa saya katakan begitu? Karena lebih dari separuh pulau itu, yaitu seluas 148.075 hektar, sudah diberikan oleh Menteri Kehutanan kepada PT. Sumatera Riang Lestari pada tahun 2007 lalu melalui SK nomor 208/Menhut-II/2007. Sisanya adalah kawasan hutan yang ironisnya merupakan wilayah yang dihuni oleh penduduk menjadi perkampungan, desa dan kelurahan.
Mungkin ada yang bertanya, apa salahnya kalau perkampungan masyarakat tersebut dimasukkan kedalam kawasan hutan? Maka jawabannya adalah kawasan hutan adalah kawasan yang dapat dialihfungsikan menjadi kawasan bukan hutan atau ditetapkan sebagai areal penggunaan lain (APL) dan dapat diberikan kepada perusahaan oleh Menteri Kehutanan untuk dikelola dan ditanami apa saja.
Maka jika hal itu terjadi, akan terjadi musibah dan malapetaka besar pada masyarakat, terutama masyarakat di wilayah kecamatan Bukitbatu & Siakkecil yang saya wakili. Tanah yang selama ini menjadi tapak perumahan penduduk, lahan-lahan pertanian yang selama ini mereka garap dan miliki berdasarkan “surat keterangan” yang disahkan oleh kepala desa dan camat, ketua RT, ketua RW, kepala dusun serta saksi-saksi dalam peralihan hak terhadap tanah tersebut, tiba-tiba akan berhadapan secara hukum dengan keputusan negara, yang diwakili oleh Menteri Kehutanan.
Saya tahu bahwa pemerintah provinsi Riau di masa Gubernur Rusli Zainal ada tiga kali menyurati Menteri Kehutanan mengusulkan beberapa hal yang substansial. Dan selama 7 bulan masa Gubernur Annas Maamun ada dua kali membuat surat usulan. Tapi nampaknya kepentingan satu-dua orang pengusaha yang lebih diutamakan dan dikedepankan. Sedangkan kepentingan masyarakat nampaknya berada di nomor urut yang jauh di belakang.
Sebagai tambahan informasi, dalam minggu ini saja, saya sudah menerima dua pengaduan dari warga yang melaporkan mereka tidak dapat mengurus sertifikat tanah karena Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang berada di Kabupaten Bengkalis tidak dapat mengeluarkan sertifikat tanah yang berada di kawasan hutan. Hal ini semua merupakan dampak negatif dari kebijakan menteri kehutanan dengan SK No.878/Menhut-II/2014 tentang Kawasan Hutan Riau tersebut.
Jadi apa yang dapat kita lakukan bersama? Saya katakan: wahai para pemuka dan tokoh masyarakat, para aktivis LSM yang kritis, mahasiswa yang progresif dan pemberani, jurnalis media massa cetak dan elektronik, seniman, sastrawan, petani, nelayan, pegawai negeri dan swasta, para buruh, pengusaha, pengangguran, dan semua orang; agar bersama-sama dalam satu barisan memperjuangkan pembatalan SK No.878/Menhut-II/2014 atau perubahan terhadap SK tersebut, selagi kebijakan tersebut tidak memperhatikan kondisi riil perkampungan masyarakat.
Jika usulan, saran dan rekomendasi yang akan dikeluarkan bersama nanti, tidak ditindaklanjuti dengan perubahan kebijakan, maka apa boleh buat, kita harus menggugat ke pengadilan tata usaha negara. Sebelum api membesar, sebelum dapur terbakar, mari kita selamatkan kehidupan dan masa depan masyarakat. Salam perjuangan…! ***
Penulis adalah anggota DPRD Kabupaten Bengkalis tiga periode: 2004 – 2019; kandidat doktor ilmu politik di Universitas Nasional, Jakarta.