Ini Fakta-Fakta soal Indonesia Dikeluarkan dari List Negara Berkembang AS


Rabu,26 Februari 2020 - 08:49:10 WIB
Ini Fakta-Fakta soal Indonesia Dikeluarkan dari List Negara Berkembang AS sumber foto bisnis.com

Pada 10 Februari 2020, Pemerintah Amerika Serikat (AS) menerbitkan Federal Register Vol. 82, No. 27 yang di dalamnya memuat pengumuman dari United States Trade Representatives (USTR). Di dalam pengumuman itu, AS memperketat kriteria negara berkembang yang berhak mendapatkan fasilitas de minimis atau batas dari pengenaan bea masuk antisubsidi (BMAS) atau countervailing duties (CVD) sebesar 2 persen.

Dilansir dari laman bisnis.com, berdasarkan kriteria baru itu, USTR mengeluarkan 15 negara berkembang—di antaranya Indonesia, Argentina, Brasil, Thailand, dan India—dari fasilitas tersebut.    Indonesia dikeluarkan dari daftar negara itu karena keanggotaannya dalam G-20 dan memiliki kontribusilebih dari 0,5 persen perdagangan dunia. Hal tersebut memancing berbagai macam respons dan menuai komentar beragam. Ini fakta-fakta dari kebijakan yang diterapkan Negeri Paman Sam tersebut

1. Catat! Indonesia Tidak Serta-merta Jadi Negara Maju.

Seperti diketahui, Amerika Serikat (AS) memperketat kriteria negara berkembang yang berhak mendapatkan pengecualian de minimis dari pengenaan tarif antisubsidi (countervailing duty/CVD). Dalam hal ini, negara berkembang versi AS, berhak mendapatkan keistimewaan penghentian penyelidikan antisubsidi jika jumlah subsidi terhadap barang yang dijual ke AS kurang dari 2 persen  atas nilai barang yang ditransaksikan.

Namun, berdasarkan kriteria baru, United States Trade Representatives (USTR) mengeluarkan 15 negara berkembang—di antaranya Indonesia, Argentina, Brasil, Thailand, dan India—dari pengecualian tersebut. Indonesia dikeluarkan dari pengecualian itu karena keanggotaannya dalam G-20 dan memiliki kontribusi lebih dari 0,5 persen perdagangan dunia.

Akan tetapi, dikeluarkannya Indonesia dari daftar negara berkembang tidak serta merta membuat Indonesia menjadi negara maju secara utuh layaknya negara-negara maju lain. Pasalnya, banyak pihak yang beranggapan, dengan kebijakan baru AS, Indonesia kini menjadi negara maju. Bahkan, ada juga yang bilang hal tersebut merupakan sebuah prestasi, padahal tidak demikian.

Sebab klaim 'negara maju' tersebut hanya berlaku di mata AS. dalam hal penyelidikan antisubsidi, di mana Indonesia masuk dalam beberapa indikator penilaian AS, seperti tergabung dalam G-20 dan memiliki kontribusi perdagangan dunia mencapai 0,9 persen.

Sementara itu batasan pendapatan negara maju atau upper-middle income yang digunakan USTR tetap mengacu ketentuan Bank Dunia yaitu sebesar US$12.375 per kapita. Sementara itu, pada 2019 lalu, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pendapatan per kapita Indonesia baru mencapai US$4.174.  DI sisi lain pada 2018, Bank Dunia mencatat pendapatan per kapita Indonesia berada di angka US$3.840. Sekali lagi, dikeluarkannya Indonesia dari list negara berkembang tidak berarti Indonesia kini ‘naik status’ menjadi negara maju secara sepenuhnya.  

2. Kebijakan AS hanya Berlaku untuk Penyelidikan Antisubsidi

Amerika Serikat memperketat kriteria negara berkembang yang berhak mendapatkan pengecualian de minimis dari pengenaan tarif antisubsidi (countervailing duty/CVD). Menurut Peraturan Pemerintah No. 34/2011, subsidi adalah setiap bantuan keuangan yang diberikan oleh pemerintah atau badan pemerintah, baik langsung atau tidak langsung kepada perusahaan, industri, kelompok industri, atau eksportir, yang dapat memberikan manfaat bagi penerima subsidi.

Subsidi juga berarti setiap bentuk dukungan terhadap pendapatan harga, yang diberikan secara langsung atau tidak langsung untuk meningkatkan ekspor atau menurunkan impor dari atau ke negara yang bersangkutan, yang dapat memberikan manfaat bagi penerima subsidi. Pemberian subsidi tersebut bisa dipersoalkan oleh suatu negara yang menjadi tujuan ekspor ketika hal tersebut menyebabkan kerugian serius bagi produk sejenis di negara itu.   

Ganjaran bagi pelaku subsidi adalah pengenaan tindakan imbalan. Tindakan imbalan berupa pengenaan bea masuk imbalan terhadap barang impor yang mengandung subsidi. Pengenaan tindakan imbalan terhadap suatu produk impor melewati proses panjang, termasuk penyelidikan untuk membuktikan apakah benar suatu produk impor disubsidi atau tidak.

Dalam penyelidikan antisubsidi, sebuah negara mengacu kepada pedoman investigasi perdagangan, yang salah satunya mengatur perihal perlakuan khusus (special differential treatment/SDT) yang tersedia dalam WTO Agreement on Subsidies and Countervailing Measures. Suatu negara bisa dikecualikan dari pengenaan tarif antisubsidi ketika batasan de minimis negara terkait di bawah dari level yang diatur.

Aturan AS sebelumnya, yakni Uruguay Round Agreement Act, memperbolehkan pengecualian untuk negara berkembang dari pengenaan tarif CVD, apabila memiliki tingkat subsidi di bawah 2 persen (batas de minimis) dan pangsa pasar di bawah 4 persen (negligible import volumes). Nah, ketika RI keluar dari daftar negara berkembang, maka batasan de minimis untuk margin subsidi agar suatu penyelidikan antisubsidi dapat dihentikan, diturunkan menjadi kurang atau sama dengan 1 persen.

3. Kriteria Baru Negara Berkembang Versi USTR

Amerika Serikat memperketat kriteria negara berkembang yang berhak mendapatkan pengecualian de minimis dari pengenaan tarif antisubsidi (countervailing duty/CVD). Berdasarkan kriteria baru, United States Trade Representatives (USTR) mengeluarkan 15 negara berkembang—di antaranya Indonesia, Argentina, Brasil, Thailand, dan India—dari pengecualian tersebut.   

Indonesia dikeluarkan dari pengecualian itu karena keanggotaan dalam G-20 dan memiliki share lebih dari 0,5 persen perdagangan dunia. USTR menerapkan tiga kriteria baru bagi negara berkembang yang dianggap telah cukup maju dan dikeluarkan dari pengecualian de minimis.

Pertama, negara berkembang dengan tingkat pendapatan per kapita (Gross National Income/GNI) lebih dari US$12,375 per tahun, atau sesuai dengan definisi Bank Dunia. Kedua, negara berkembang dengan share lebih dari 0,5 persen dari total perdagangan dunia (sebelumnya 2 persen). Ketiga, negara berkembang yang merupakan anggota Uni Eropa, OECD, dan G-20.

Indonesia kini dikeluarkan dari daftar negara berkembang karena dua kriteria, yakni keanggotaan dalam G-20 dan memiliki kontribusi terhadap perdagangaan dunia lebih dari 0,5 persen. Dengan demikian, Indonesia diklaim sebagai 'negara maju' khusus untuk penyelidikan antisubsidi. 

4. Dampak Nyata Dikeluarkannya RI dari Daftar Negara Berkembang

Perubahan aturan Amerika Serikat membuat Indonesia kini tak lagi memenuhi kriteria sebagai negara berkembang. Ini berarti  hak Indonesia dalam Article 27 ASCM Agreement untuk tidak dikenakan pengenaan bea imbalan manakala margin subsidi ditemukan kurang dari 2 persen atau volume impornya di bawah 4 persen yang secara kolektif dengan negara berkembang lain tidak lebih dari 9 persen, menjadi berkurang.

Sebelumnya, aturan AS (Uruguay Round Agreement Act) memperbolehkan pengecualian untuk negara berkembang dari pengenaan tarif antisubsidi (countervailing duty/CVD), apabila memiliki tingkat subsidi di bawah 2 persen (de minimis) dan pangsa pasar di bawah 4 persen (negligible import volumes). Ketika RI keluar dari list negara berkembang, maka batasan de minimis untuk margin subsidi agar suatu penyelidikan antisubsidi dapat dihentikan, diturunkan menjadi kurang atau sama dengan 1 persen

Dengan demikian, parameter uji Amerika Serikat terhadap produk ekspor Indonesia bakal makin ketat. Sebelumnya saat ada tuduhan subsidi dari AS, Indonesia mungkin bisa saja lolos ketika menyandang status sebagai negara berkembang. Kondisi kini berbeda. Dengan perubahan status, risiko dituduh melakukan praktik subsidi bisa saja makin besar.

5. Pengaruh Kebijakan AS Terhadap Status Indonesia Sebagai Penerima GSP

Indonesia dikeluarkan dari daftar negara berkembang oleh Pemerintahan Amerika Serikat. Berdasarkan ketentuan dan persyaratan baru dari perspektif Amerika Serikat,  Indonesia tidak lagi berhak atas perlakuan spesial dalam hal pengenaan tarif antisubsidi (special treatment for purpose of countervailing measures) menurut  Agreement of Subsidies and Countervailing Measures WTO.

Fasilitas di atas hanya berkaitan dengan pengenaan tarif antisubsidi, dan tidak ada kaitan antara revisi aturan AS itu dengan mekanisme pemberian Generalized System of Preferences (GSP) kepada Indonesia. Hanya saja, harus dipahami bahwa dengan perubahan ini, Presiden Donald Trump kembali menunjukkan prioritasnya pada ‘free, fair and reciprocal trade’ dan bersikap tegas dengan penerapan pemahaman special and differentiation treatment (SDT) yang lebih ketat dibandingkan dengan WTO.

Sudah lama Presiden Donald Trump menyuarakan ketidaksukaannya terhadap status negara berkembang, dan Amerika Serikat terus menyuarakan reformasi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).  Bahkan, AS telah mengusulkan perubahan kriteria negara berkembang penerima SDT yang lebih ketat di forum WTO pada tanggal 15 Februari 2019 melalui proposal No. WT/GC/W/764 ‘Draft General Council Decision: Procedures to Strengthen the Negotiating Function of the WTO’.  

Melalui penerapan kriteria SDT baru yang lebih ketat ini, Indonesia perlu mewaspadai potensi  melebarnya pemberlakuan definisi negara berkembang baru untuk aturan AS lainnya, antara lain safeguard dan GSP. Jika sekarang aturan ini hanya mencakup antisubsidi, bukan tidak mungkin bakal ada aturan lanjutan yang mengatur trade remedies ataupun fasilitas dagang lainnya seperti antidumping.

6. Penentuan Status Negara Berkembang Secara Sepihak oleh AS Tidak Tepat

Merujuk pada ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), hingga saat ini tidak ada definisi WTO terkait dengan negara maju (developed) dan negara berkembang (developing). Namun, terdapat praktik kebiasaan di dalam WTO dan GATT bahwa setiap negara dapat melakukan “self-declaration” dan menyatakan apakah negaranya masuk ke dalam kategori negara maju atau berkembang.

Ada catatan penting, bahwa negara anggota yang lain dapat mengajukan keberatan atau penolakan atas tindakan “self-declaration” yang dilakukan suatu negara. Dalam hal ini, WTO memberikan kebebasan untuk negara anggota untuk menentukan status suatu negara apakah masuk ke dalam kategori negara maju dan negara berkembang.

Namun demikian, pada praktiknya negara-negara anggota tetap mendasarkan pengelompokan mereka kepada data, standar, dan norma-norma yang ada dan diakui dunia internasional. Beberapa negara anggota menggunakan status tingkat pembangunan yang dikeluarkan oleh organisasi internasional, seperti UNCTAD dengan klasifikasi developeddeveloping, dan least-developed countries.

IMF dan World Bank menggunakan klasifikasi higher incomeupper-middle incomelower-middle income, low income. Klasifikasi ini berdasarkan data Gross National Income (GNI). Dengan demikian, AS menggabungkan antara indikator UNCTAD dengan IMF-World Bank serta menambahkan kriteria share perdagangan dunia dan keanggotaan pada organisasi kerja sama ekonomi internasional (OECD dan G20).

Mempertimbangkan hal tersebut di atas, maka tindakan sepihak (unilateral) yang dilakukan oleh Amerika Serikat  menjadi tidak tepat karena AS tidak mempertimbangkan aspek dan hak self-declare yang dimiliki oleh setiap negara berkembang ketika melakukan revisi peraturan countervailing duty (CVD Law).

Lebih lanjut, tindakan  AS yang langsung menyatakan suatu negara tidak lagi dapat dikategorikan sebagai negara berkembang, berpotensisecara signifikan merusak pilar sistem perdagangan multilateral.  Khususnya sistem yang ada di dalam WTO, yang mengedepankan konsultasi, konsensus, dan kerja sama antarnegara anggotanya.

7. Ekspor Indonesia Terancam

United States Trade Representatives (USTR) telah memperketat negara berkembang yang berhak mendapatkan pengecualian de minimis dari pengenaan tarif antisubsidi (countervailing duty/CVD). Kondisi ini membuat Indonesia akhirnya harus keluar dari daftar negara berkembang yang selama ini memperoleh fasilitas bebas dari pengenaan tarif antisubsidi jika margin subsidinya tidak melewati ambang batas yang dipersyaratkan.

Dikeluarkannya Indonesia dari daftar negara berkembang oleh Amerika Serikat bisa saja berdampak kepada ekspor Indonesia ke Negara Paman Sam. Mengapa? Bentuk pengamanan perdagangan atau trade remedies yang digunakan oleh Amerika Serikat tersebut menjadi salah satu instrumen untuk melindungi produk sejenis di dalam negeri.

Sudah bukan rahasia lagi, ketika masuk dalam ‘perangkap’ tuduhan Amerika Serikat, produk ekspor terkait akan sulit melepaskan diri. Dalam kasus ini, ketika suatu produk ekspor dituduh telah mendapatkan subsidi dari negara atau perusahaan, akan sulit bagi produk ekspor terkait untuk lepas sepenuhnya dari tuduhan itu. Pasalnya, Amerika Serikat bisa menggunakan mekanisme peninjauan kembali untuk kembali mengenakan bea masuk imbalan atas suatu produk. “Ketika suatu produk sudah dikenakan tuduhan subsidi atau trade remedies lainnya oleh AS, lebih baik cari pasar lain. Kita akan sulit melepaskan diri. Segala cara bisa dipakai untuk tetap mengenakan bea masuk imbalan atas produk kita,” ujar Pradnyawati, Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan, Selasa (26/2/2020).

Apabila tuduhan terus berlanjut, bukan tidak mungkin ekspor kita ke negara itu akan terkoreksi.  Adapun berdasarkan data Bada Pusat Statistik (BPS) pada 2019 nilai ekspor Indonesia ke AS tercatat US$17,7 miliar. Dalam hal ini Indonesia mencatatkan surplus neraca perdagangan dengan  AS sebesar US$9,2 miliar. Saat ini, produk Indonesia yang mendapat tuduhan subsidi oleh Amerika Serikat mencakup biodiesel dan utility scale wind towers yang masing-masing nilainya berjumlah US$255,56 juta dan US$90,38 juta. Sementara itu, Pradnyawati mengemukakan bahwa sejumlah produk lain yang yang rentan menjadi objek penyelidikan subsidi oleh AS adalah besi dan baja, berbagai jenis kertas, dan sawit beserta produk turunannya.

8. Produk Ekspor RI yang Dituduh Subsidi oleh Amerika Serikat

Menurut Peraturan Pemerintah No. 34/2011, subsidi adalah setiap bantuan keuangan yang diberikan oleh pemerintah atau badan pemerintah, baik langsung atau tidak langsung kepada perusahaan, industri, kelompok industri, atau eksportir, yang dapat memberikan manfaat bagi penerima subsidi. Subsidi juga berarti tiap bentuk dukungan terhadap pendapatan harga, yang diberikan secara langsung atau tidak langsung untuk meningkatkan ekspor atau menurunkan impor dari atau ke negara yang bersangkutan, yang dapat memberikan manfaat bagi penerima subsidi.

Pemberian subsidi tersebut bisa dipersoalkan oleh suatu negara yang menjadi tujuan ekspor ketika hal tersebut menyebabkan kerugian serius bagi produk sejenis di negara itu. Ganjaran bagi pelaku subsidi adalah pengenaan tindakan imbalan. Tindakan imbalan berupa pengenaan bea masuk imbalan terhadap barang impor yang mengandung subsidi.

Per Februari 2020, AS tercatat mengenakan tarif antisubsidi (countervailing duty/CVD) untuk 5 produk asal Indonesia, yakni: biodiesel, hot rolled carbon (HRC) steel flat products, cut-to-length (CTL) carbon steel plate, certain coated paper dan certain uncoated paper. Seluruh produk tersebut dikenakan CVD setelah hasil investigasi AS memutuskan bahwa ke-5 produk tersebut terbukti mendapatkan subsidi dengan margin di atas 2 persen. Keputusan itu juga berdasarkan pada persentase pangsa pasar Indonesia di pasar AS melebihi 4 persen.

Menurut catatan Kementerian Perdagangan, dalam pengamatan selama 2 tahun terakhir, Indonesia belum pernah mendapatkan pengecualian dari pengenaan CVD berdasarkan kriteria de minimis untuk negara berkembang. Namun, Indonesia pernah mendapatkan pengecualian atas dasar negligible import volumes pada 2018 untuk pengenaan tarif safeguard terhadap produk mesin cuci, karena penyelidikan membuktikan bahwa RI hanya memiliki pangsa pasar di bawah 3 persen.

Di tengah iklim perdagangan yang kurang kondusif sejauh ini, bukan tidak mungkin Amerika Serikat bakal tetap melanjutkan pengenaan tarif antisubsidi terhadap produk Indonesia. Bahkan, Amerika Serikat bisa saja semakin agresif membendung masuknya produk Indonesia lainnya lewat mekanisme pengamanan perdagangan antisubsidi. Menurut catatan Kementerian Perdagangan, ada sejumlah produk lain yang yang rentan menjadi objek penyelidikan subsidi, di antaranya besi dan baja, berbagai jenis kertas, dan sawit beserta produk turunannya.

9. Waspada Perluasan Penyelidikan dan Ketidaktahuan Pelaku Usaha Indonesia

Kepala Ekonom Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri menyebutkan pemerintah Indonesia perlu mengantisipasi meluasnya kebijakan Amerika Serikat mengenai penyelidikan antisubsidi ke penyelidikan trade remedies lain seperti antidumping. Pasalnya, praktik dumping kerap diterapkan secara internal oleh perusahaan-perusahaan eksportir alih-alih dalam bentuk kebijakan pemerintah. Para pengusaha terkadang secara sadar maupun tidak sadar melakukan dumping  terhadap produk yang diekspornya,

Hal itu membuat tingkat kerawanan terhadap penyelidikan tindakan dumping yang berawal dari penyelidikan antisubisidi oleh AS bisa diterima oleh produk-produk Indonesia. "Jadi yang diperlukan pemerintah tentunya membuktikan bahwa produk-produk kita tidak mengandung subsidi. Yang terpenting bagaimana kebijakan pemerintah ke perusahaan ini agar tak melakukan dumping. Kebanyakan dumping dilakukan oleh internal perusahaan," kata Yose ketika dihubungi, Senin (24/2/2020).

Untuk itu diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang menyeluruh terhadap potensi penyelidikan atas praktik dumping dan subsidi di atas batas yang ditentukan oleh negara mitra, dalam hal ini AS. Pemahaman itu harus dimiliki oleh pengusaha, tidak hanya pemerintah. Yose pun mengatakan Indonesia perlu mengantisipasi diikutinya kebijakan Amerika Serikat oleh negara maju lainnya. Dalam hal ini, dia mencontohkan potensi hilangnya fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) produk Indonesia yang diberikan oleh Uni Eropa. "Untuk posisi di WTO sendiri tidak ada standar klasifikasinya. Jadi memang ini lebih banyak kesepakatan negara saja. Hanya saja yang perlu dikhawatirkan adalah jika banyak negara yang mengikuti langkah Amerika Serikat," kata Yose. (GA)

 

 

 


Akses riaubisnis.co Via Mobile m.riaubisnis.co
TULIS KOMENTAR
BERITA LAINNYA

KANTOR PUSAT:
Jl. Arifin Ahmad/Paus Ujung (Komp. Embun Pagi), B 13, Pekanbaru, Riau – Indonesia
CP : 0812 6812 3180 | 0853 7524 1980
Email: [email protected]