Dampak Buruk Kampanye Benci Produk Asing yang Digaungkan Presiden Jokowi


Selasa,09 Maret 2021 - 09:36:04 WIB
Dampak Buruk Kampanye Benci Produk Asing yang Digaungkan Presiden Jokowi sumber foto merdeka.com

Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih merasa jengkel akibat produk luar negeri mendominasi pasar Indonesia. Padahal, dirinya selalu menekankan agar Kementerian, Lembaga dan BUMN untuk meningkatkan penggunaan produk dalam negeri.

Dilansir dari laman merdeka.com, "komponen dalam negeri ini harus terus, jangan sampai proyek pemerintah, BUMN, masih memakai barang-barang impor. Kalau bisa dikunci itu (impor) bisa menaikkan permintaan (lokal) yang tidak kecil, gede banget," ujar Presiden Jokowi dalam pembukaan Rakernas HIPMI 2021 secara daring, Jumat (5/3).

Presiden Jokowi mencontohkan penggunaan pipa proyek pembangunan yang pengadaannya masih impor. Padahal, Indonesia sudah dapat memproduksi pipa sendiri. "Pipa sudah bisa produksi banyak masih impor, untuk apa gitu. Pada dipakai proyek pemerintah, proyek BUMN, saya ngomong tidak boleh," katanya.

Menteri Perdagangan (Mendag), Muhammad Lutfi memaparkan makna dari benci produk impor atau asing yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurut Lutfi, itu adalah produk impor yang dijual di Indonesia, namun tidak memenuhi tata niaga yang tertib.

Mendag memaparkan sebuah artikel dari World Economic Forum (WEF) tentang seorang pedagang hijab di Tanah Abang yang sebelumnya dia hanya menjadi penjual, kemudian mulai berekspansi dengan menjadi sebuah industri yang memproduksi hijab atau konveksi yang mempekerjakan 3.000 orang.

"Dengan jumlah karyawan 3.000 orang, pedagang itu harus membayar gaji sebesar USD 650.000 atau Rp10 miliar per tahun. Kemudian hijab yang dia produksi, terbaca oleh Artificial Intelligent (AI) milik sebuah perusahaan di luar negeri. Jadi, mereka bisa tahu bentuknya, warnanya kayak apa, harganya berapa," ujar Mendag Lutfi saat menghadiri Rapat Kerja Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) yang disiarkan virtual di Jakarta, Jumat (5/3).

Kemudian perusahaan asing tersebut menyontek dan memproduksinya dalam jumlah banyak dan produknya dijual di Indonesia dengan potongan harga yang jauh lebih murah atau sekitar Rp1.900 per buah. Dapat dibayangkan bahwa produk hijab yang dihasilkan oleh anak bangsa akan kalah bersaing dari sisi harga.

Padahal, lanjut Mendag, bea masuk yang dihasilkan oleh produk impor tersebut hanya USD 44.000 per tahun. Angka tersebut jelas lebih rendah jika dibandingkan dengan biaya pedagang hijab itu untuk membayar karyawannya yang mencapai USD 65.000. Menurut Mendag, mekanisme perdagangan tersebut tidak boleh terjadi oleh aturan perdagangan internasional, karena tidak memenuhi dua azas perdagangan yang tertib.

"Ini adalah salah satu mekanisme perdagangan yang dilarang oleh international trade. Ini namanya predatory pricing. Ini yang dibenci oleh Pak Jokowi. Kita berdagang itu musti punya dua azas. Pertama adalah adil dan kedua bermanfaat," ujar Mendag Lutfi. Meski demikian, kampanye benci produk asing tak selamanya membawa keuntungan untuk Indonesia. Berikut dampak negatifnya:

Memicu Tindakan Balasan

Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus mengaku tidak setuju dengan kampanye benci produk asing yang digaungkan oleh Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu. Menurutnya, strategi itu justru bisa memicu retaliasi atau tindakan balasan dari negara mitra. Sehingga justru mempersulit produk Indonesia untuk mejeng di pasar internasional.

"Penggunaan diksi benci produk asing itu menurut saya tidak tepat, jelas ya. Karena berpotensi akan memicu protes dari negara mitra dagang, di protes dong, juga memicu akan retaliasi nanti kalau kita di balas gimana benci produk Indonesia?. Gawat juga itu justru akan mempersulit ekspor kita gitu kan," ungkapnya dalam konferensi pers dengan bertajuk Produk Asing: Benci Tapi Rindu, Senin (8/3).

Dia mengingatkan, bahwa masih ada cara lain yang bisa dilakukan pemerintah untuk meningkatkan volume produk ekspornya ke pasar dunia. Di antaranya dengan memperluas dan memperbaiki hubungan kerja sama dagang dengan negara lain. "Dalam kerja sama itu kan sifatnya resiprokal (saling berbalasan). Kalau mau ekspor banyak, ya kita juga harus mau nerima barang dagangan dia," bebernya.

Selain itu, pengaturan komoditi impor juga menjadi penting untuk pelaku usaha dalam negeri memperluas pasarnya. "Sehingga itu yang perlu kita atur, kira-kira kita perlu impor apa aja nih yang memang kita perlukan, contoh bahan baku industri, kemudian juga nanti kalau industri udah impor bahan baku produknya harus mungkin di ekspor sekian persen dan seterusnya," terangnya.

Terakhir, pendalaman struktur industri manufaktur Tanah Air juga dinilai tak kalah pentingnya untuk segera dilakukan. Upaya ini guna membangun rantai pasok yang kuat dan terintegrasi, sehingga dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri, mensubstitusi bahan baku impor, serta mampu mengisi pasar ekspor.

"Kalau hanya sebatas kata-kata, tagline, tentu tidak cukup. Harus ada upaya-upaya penyiapan yang konkret ya," katanya. Oleh karena itu, pihaknya mendorong pemerintah melakukan perbaikan diksi kampanye dagang yang lebih mempunyai kekuatan makna untuk membangkitkan kecintaan masyarakat akan produk lokal. Seperti halnya yang lazim digunakan oleh pemerintah di negara maju.

"Masih lebih mending yang tadi tuh, Made in Indonesia 2024 misalnya. Kalau China, Made in China 2025 nah kita 2024, kita menggaungkan itu. Jadi, kita tanamkan rasa cinta bangga akan memiliki produk Indonesia. Seharusnya seperti itu yang dilakukan presiden (Jokowi)," katanya.

Timbulkan Kontroversi

Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Berly Martawardaya menyarankan pemerintah untuk memangkas impor barang konsumtif yang bukan merupakan kebutuhan primer guna memperbaiki neraca perdagangan. Menurutnya, ini lebih efektif ketimbang mengampanyekan benci produk asing yang justru melahirkan kontroversi di tataran masyarakat.

"Impor barang konsumtif inilah yang harus dibenci, seperti tas-tas mahal, jam, sepatu, atau elektronik yang upscale, kalau mau dikurangi ya bagus. Tapi kalau bahan baku, bahan penolong atau bahan modal jangan dibenci," tuturnya dalam konferensi pers dengan bertajuk Produk Asing: Benci Tapi Rindu, Senin (8/3).

Dia mengungkapkan, dengan tidak mengurangi impor akan bahan penolong atau bahan modal maka akan berdampak positif bagi kinerja industri manufaktur tanah air di tengah pandemi Covid-19. Menyusul adanya kesediaan bahan penolong untuk aktivitas produksi di masa kedaruratan kesehatan ini.

"Kalau bahan modal atau bahan penolong dikurangi ya produksi industri manufaktur dalam negeri terganggu. Jadi harus akurat kalau mau benci, impor-impor yang mana yang dibenci," tambahnya.

Selain itu, memangkas praktik Korupsi yang masih merajalela di Tanah Air juga harus terus diupayakan pemerintah. Mengingat praktik kotor ini berpotensi untuk mengganggu kepercayaan negara mitra terkait hubungan dagang hingga menutup peluang untuk mendapatkan investasi baru.

"Kalau kita mau menjadi negara yang kuat produksi, ekonomi, dan ekspornya ya harus bagus iklim bisnis dan rendah korupsinya. Di mana rangking persepsi korupsi ini mengganggu," ucap dia mengakhiri. (GA)

 


Akses riaubisnis.co Via Mobile m.riaubisnis.co
TULIS KOMENTAR
BERITA LAINNYA

KANTOR PUSAT:
Jl. Arifin Ahmad/Paus Ujung (Komp. Embun Pagi), B 13, Pekanbaru, Riau – Indonesia
CP : 0812 6812 3180 | 0853 7524 1980
Email: [email protected]