Kenaikan Iuran Mengintai Jika BPJS Ikut Biayai Pasien Covid


Kamis,19 Agustus 2021 - 09:39:35 WIB
Kenaikan Iuran Mengintai Jika BPJS Ikut Biayai Pasien Covid sumber foto cnnindonesia.com

Pemerintah akan melibatkan BPJS Kesehatan dalam pembiayaan penanganan pasien covid-19. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pelibatan akan dilakukan dengan berbagi beban (cost sharing) dengan BPJS Kesehatan. Rencananya, berbagi beban mulai dilakukan tahun depan. Hal ini demi menekan biaya penanganan covid-19.

Dilansir dari laman cnnindonesia.com, "perawatan pasien covid-19 akan mulai cost sharing dengan BPJS Kesehatan (pada 2022)," ungkap Sri Mulyani dalam konferensi pers, Senin (16/8). Dengan rencana tersebut, anggaran penanganan covid-19 yang tahun ini mencapai Rp201,2 triliun diturunkan pemerintah 42 persen hingga tinggal Rp115,9 triliun. Penurunan sudah tertuang dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022.

Selanjutnya, anggaran penanganan covid-19 nantinya akan lebih banyak digunakan untuk melanjutkan program vaksinasi covid-19 serta melaksanakan testing, tracing, dan treatment (3T). Semua ini tetap diperlukan untuk menekan laju penularan wabah corona di Tanah Air.

Sri Mulyani belum menjelaskan detail mengenai pembagian porsi antara BPJS Kesehatan dan pemerintah dalam menangani pasien covid-19 tahun depan. RAPBN masih akan dibahas dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebelum disahkan menjadi undang-undang (uu).

Berbagai pandangan pun bermunculan. Peneliti Institute of Development and Economics Finance (Indef) Abra Talattov mengatakan keputusan pemerintah yang menggandeng BPJS Kesehatan untuk membantu menangani pasien covid-19 akan berisiko besar. Keuangan BPJS Kesehatan bisa-bisa semakin minus karena ikut menopang biaya pasien corona.

"Pemerintah perlu ukur kapasitas keuangan BPJS Kesehatan, apakah selama pandemi ini BPJS Kesehatan masih kuat. Sebelum pandemi saja keuangan sudah berdarah-darah," ungkap Abra kepada CNNIndonesia.com, Rabu (18/8).

Manajemen BPJS Kesehatan menyebut total defisit mencapai Rp6,36 triliun per 31 Desember 2020. Dari sisi arus kas, BPJS Kesehatan sebenarnya mengalami surplus sebesar Rp18,74 triliun. Namun, BPJS Kesehatan masih memiliki komponen lain yang mengurangi arus kas tersebut. Totalnya mencapai Rp25,15 triliun.

Komponen lain yang dimaksud, antara lain incurred but not reported (IBNR) atau jenis klaim pada asuransi yang sudah terjadi namun belum dilaporkan kepada perusahaan asuransi, sebesar Rp22,8 triliun. Lalu, outstanding claim (OSC) atau klaim dalam proses verifikasi sebesar Rp1,16 triliun, dan utang atau klaim dalam proses bayar Rp1,18 triliun.

Dengan demikian, total kewajiban perseroan tersebut mencapai Rp25,15 triliun. Apabila arus kas sebesar Rp18,74 triliun dikurangi total kewajiban, maka BPJS Kesehatan mengalami defisit Rp6,36 triliun.

Abra khawatir keuangan BPJS Kesehatan belum juga membaik atau bahkan semakin tertekan selama pandemi merebak di Indonesia. Jika BPJS Kesehatan tak mampu menanggung biaya pasien covid-19 karena arus kasnya semakin minus, maka layanan yang diberikan ke peserta akan terganggu.

Untuk mengatasi masalah tersebut, bukan tak mungkin pemerintah akan kembali mengerek iuran BPJS Kesehatan tahun depan. Artinya, ada konsekuensi yang akan diterima oleh peserta dari kebijakan cost sharing itu.

"Ini hati-hati. Harus ada jaminan bahwa ini tak akan menjadi beban bagi peserta BPJS Kesehatan non subsidi. Artinya pekerja yang selama ini membayar iuran jangan sampai menjadi korban," jelas Abra.

Pemerintah harus menjelaskan dengan rinci skema cost sharing yang akan dilakukan bersama BPJS Kesehatan. Apakah BPJS Kesehatan akan menanggung 100 persen atau hanya sekian persen.

Jangan sampai, cost sharing ini ujung-ujungnya menyusahkan rakyat dengan menaikkan iuran BPJS Kesehatan tahun depan. "Sekarang daya beli turun, pendapatan masyarakat sulit, apalagi tahun depan belum ada kepastian pemulihan dunia usaha. Pemerintah harus berikan jaminan ini tidak akan berdampak ke penyesuaian tarif BPJS Kesehatan," ucap Abra.

Namun, ia tahu persis cost sharing merupakan upaya pemerintah demi mengurangi belanja tahun depan. Pasalnya, defisit APBN harus kembali di bawah 3 persen pada 2023. Pemerintah perlu melakukan konsolidasi fiskal mulai 2022. Penerimaan negara harus ditingkatkan dan belanja harus ditekan.

Senada, Ekonom Senior Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet juga melihat kemampuan belanja pemerintah semakin terbatas demi mengembalikan defisit anggaran di bawah 3 persen pada 2023 mendatang.
Menurutnya, upaya cost sharing pemerintah dan BPJS Kesehatan tak akan berdampak negatif jika kasus penularan semakin turun. Sebab, ia yakin BPJS Kesehatan memiliki arus kas yang cukup untuk menangani pasien covid-19.

"Kalau kasus pada tahun depan bisa diredam, potensi pelebaran defisit BPJS Kesehatan bisa diminimalisir," terang Yusuf. Namun, jika kasus penularan corona semakin parah tahun depan, maka keuangan BPJS Kesehatan bisa saja terganggu. Kalau itu benar-benar terjadi, mau tak mau pemerintah kembali turun tangan.

Pemerintah punya opsi menyuntikkan kepada BPJS Kesehatan. Namun, ini berarti rencana pemerintah untuk menghemat belanja gagal total. "Iya, polanya memang seperti itu (pemerintah menyuntikkan dana jika keuangan BPJS Kesehatan sudah tak kuat). BPJS Kesehatan tidak meminta dana lagi pada pemerintah jika peserta tertib dalam membayar iuran," kata Yusuf.

Kalau bukan suntikan dana, pemerintah punya opsi untuk mengerek iuran BPJS Kesehatan. Yusuf menyebut penyesuaian tarif akan menyehatkan keuangan BPJS Kesehatan. "Tapi dalam konteks pandemi idealnya tidak mendorong kenaikan tarif," imbuh Yusuf.

Oleh karena itu, perlu ada hitungan pasti seberapa besar kemampuan BPJS Kesehatan dalam menangani pasien covid-19. Jangan sampai pemerintah memberikan beban melebihi kapasitas BPJS Kesehatan.

Di sisi lain, Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal mengatakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan biasanya bersifat politik. Keputusannya tak bisa diambil dengan cepat. "Keputusan kenaikan tarif sepertinya konsensus, bukan karena kenaikan kasus covid-19. Potensi (kenaikan iuran) ada, tapi keputusan tarif adalah keputusan politik juga," ujar Fithra.

Ia optimistis cost sharing antara pemerintah dan BPJS Kesehatan akan membuat APBN lebih sehat. Namun, semua harus dikelola dengan baik.  "Ada risiko jika BPJS tidak dikelola dengan baik maka akan ada tekanan pada BPJS. Harapannya ini semua bisa dikelola dengan baik," pungkas Fithra. (GA)
 


Akses riaubisnis.co Via Mobile m.riaubisnis.co
TULIS KOMENTAR
BERITA LAINNYA

KANTOR PUSAT:
Jl. Arifin Ahmad/Paus Ujung (Komp. Embun Pagi), B 13, Pekanbaru, Riau – Indonesia
CP : 0812 6812 3180 | 0853 7524 1980
Email: [email protected]