(Suatu Telaah Terhadap UU No. 8 Tahun 2010)

Hubungan Hukum dengan Kekuasaan dan Keadilan


Selasa,09 November 2021 - 16:39:50 WIB
Hubungan Hukum dengan Kekuasaan dan Keadilan Gusri Putra Dodi. sumber foto istimewa

0leh: Gusri Putra Dodi, S.H., M.H.

(Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Jambi)

  1. Pendahuluan

Barangkali tidak ada sarjana hukum yang tidak pernah mendengar ungkapan filsuf Cicero tentang hukum, sebagai salah satu peletak dasar ilmu hukum modern di dunia. Bahkan orang diluar sarjana hukum, sekalipun ada yang mengetahui ungkapan tersebut. Hukum sebenarnya bukan hanya milik manusia semata, maka ungkapan Cicero yang terkenal dengan istilah “Ubi Societas Ibi Ius” sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan ilmu dan pengetahuan. Karena, yang menjadi objek dari ungkapan Cicero tersebut adalah masyarakat. Sedangkan masyarakat itu sendiri lebih identik dengan manusia yang berkelompok. Maka akan timbul pertanyaan, apakah diluar manusia tidak ada hukum?

Akan tetapi ungkapan Cicero tentang hukum tidak lah dapat disalahkan, namun juga tidak sepenuhnya benar. Karena dalam persoalan ilmu hukum, bukan lah membenarkan atau menyalahkan suatu pendapat yang terdahulu, namun dalam ilmu hukum haruslah menciptakan sesuatu nilai yang baru. Tentu dalam penciptaan nilai yang baru tersebut, tidak terlepas dari nilai-nilai yang lama sebagai pijakan untuk merenungkan nilai yang lebih relevan dalam setiap perkembangan dan kemajuan kehidupan alam semesta. Kenapa alam semesta, karena objek ilmu pengetahuan dan khususnya ilmu hukum itu saat ini bukan hanya terfokus pada manusia, akan tepai semua aspek kehidupan dan element alam semesta bisa menjadi objek dari perkembangan ilmu hukum itu sendiri.

Perdebatan tentang hukum dan manusia memang tidak akan ada pernah habisnya, apa lagi hukum ciptaan manusia. Semakin berkembang pola pikir dan ilmu pengetahuan manusia, sejalan dengan hal itu maka hukum dan ilmu hukum juga harus berbanding lurus dalam perkembangannya. Karena, jika hukum dan ilmu hukum tidak mengalami perkembangan alias stagnan, maka hukum itu sendiri akan kesulitan untuk menjangkau dan menciptakan suatu perubahan sosial bagi perkembangan kehidupan masyakat itu sendiri, sebagaimana ungkapan Roesco Pound tentang hukum sebagai alat rekayasa sosial.

Hukum tidak mutlak milik manusia, karena sesungguhnya hukum itu hidup atau ada dalam setiap element atau unsur kehidupan alam semesta. Jika, kita mampu melihat dan memperhatikan segalah bentuk aspek kehidupan yang ada di alam semesta ini, maka dengan mudahnya kita akan menemukan hukum diluar hukum yang diciptakan oleh manusia. Sebagai contoh, jika kita pernah memperhatikan kehidupan dunia hewan, baik secara langsung maupun melalui penayangan oleh siaran televisi. Maka, kita akan mendapati suatu keadaan bahwa hukum itu ada dalam bentuk kehidupan diluar manusia. Mungkin untuk lebih sederhananya dapat kita lihat pada kehidupan hewan liar seperti singa di tengah gurun savana Afrika, sebagai bagai hewan yang hidup berkelompok maka ada suatu aturan mengikat yang ditaati oleh setiap anggota kelompok dari singa tersebut. Dimana dalam satu kelompok kehidupan singa, satu atau dua singa jantan akan menjadi pemimpin dari kelompok yang ada tersebut. Singa jantan akan bertugas sebagai pelindung dari kelompok singa yang ada, melindungi kelompoknya dari berbagai macam gangguang hewan lainnya, termasuk kelompok singa lain. Sebagai pemimpin dan pelindung dalam kelompoknya, singa jantan sangat jarang melakukan perburuan, bahkan hampir tidak pernah singa jantan melakukan perburuan untuk keperluan makan kelompoknya. Tugas perburuan untuk memenuhi kebutuhan makanan kelompoknya dilakukan oleh singa betina, kecuali hewan-hewan tertentu yang sulit untuk dijatuhkan oleh singa betina, maka singa jantan akan membantu perburuan itu. Namun, ketika singa betina dalam kelompoknya telah berhasil menjatuhkan hewan buruan, maka yang akan makan terlebih dahulu adalah pemimpin kelompoknya alias singa jantan, setelah singa jantan kenyang dan selesai makan, maka selanjutnya anggota kelompok lah yang akan makan hasil buruan tersebut.

Itu adalah salah satu bentuk contoh hukum yang tumbuh dan hidup dalam dunia hewan singa, memang tidak tertulis layaknya hukum yang berlaku dalam kehidupan manusia, akan tetapi hukum itu dijalankan oleh anggota kelompoknya. Berdasarkan contoh tersebut, maka nyatalah bahwa hukum itu bukan mutak milik manusia. Karena, hukum itu sendiri adalah suatu kaidah yang hidup dan tumbuh dalam kehidupan masyarakat yang berfungsi untuk menciptakan keteraturan. Memang tidak ada sutau keseragaman pendapat para sarjana dalam mendefenisikan hukum, masing-masing sarjana dapat secara bebas mengartikan dan mendefenisikan hukum itu sendiri. Walaupun banyak terdapat defenisi hukum yang disebutkan oleh para sarjana hukum dalam tulisannya, akan tetapi ada suatu nilai-nilai yang bersifat universal dari defenisi hukum yang mereka tuliskan yaitu tentang nilai dan kaidah.

Dari beberapa defenisi hukum yang diberikan para sarjana hukum di Indonesia, dapatlah diambil kesimpulan bahwa hukum itu meliputi beberapa unsur, yaitu:

  1. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat.
  2. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib.
  3. Peraturan itu bersifat memaksa.
  4. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah harus tegas.

Banyak aspek yang bisa dijadikan sebagai barometer untuk melihat keberadaan hukum itu sendiri ditengah-tengah masyarakat, salah satu parameter yang yang paling familiar dalam merefleksikan keberadaan hukum itu ditengah masyarakat tentunya adalah pengadilan. Banyak berkembang opini ditengah-tengah masyarakat Indonesia tentang hukum saat ini, bahkah banyak ungkapan tentang hukum Indonesia hanya tajam kebawah tapi tumpul keatas. Fenomena ini sebenarnya bukan isapan jempol belaka, kenyataan yang terjadi memang bahwa hukum di Indonesia seperti itu adanya. Disparitas putusan yang dihasilkan oleh pengadilan dalam perkara yang sama, bukan lah hal yang langka proses pemidanaan yang terjadi selama ini, berat ringan putusan terkadang ditentukan oleh status sosial seseorang yang sedang menjadi pesakitan.

Istilah pencucian uang (money laundering) muncul pertama kali pada sekitar tahun 1930-an ketika mafia Amerika mengakuisisi usaha pencuaian pakaian otomatis (laundromats) setelah mereka mendapatkan uang dalam jumlah besar dari kegiatan illegal seperti seperti pemerasan, prostitusi, narkoba, dan perdagangan minuman keras. Upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan money laundering, yang sudah tergolong pula sebagai kejahatan transnasional ini, maka pada tahun 1988 diadakan konvensi internasional, yaitu United Nation Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances atau yang lebih dikenal dengan nama UN Drug Convention.

Perkembangan politik hukum nasional, khusunya dalam pembentukan undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana pencucian uang memang sangat dipengaruhi oleh pergaulan politik luar negeri atau hubungan internasional. Banyak factor yang membuat Indonesia bisa di “intervensi” oleh kepentingan dunia internasional dalam pembentukan hukum, hal ini tidak lain karena saat ini Indonesia masih bergantung secara ekonomi dengan negara asing. Sebenarnya pembangunan politik hukum nasional dalam penciptaan hukum di Indonesia yang dipengaruhi oleh perkembangan politik dunia internasional tidak hanya terjadi pada proses lahirnya Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 saja, akan tetapi masih banyak undang-unang yang dibuat oleh pemerintah karena dipengaruhi oleh politik internasional, undang-undang kepailitan misalnya.

  1. Pembahasan
  1. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang

Asal usul istilah “pencucian uang” yang berasal dari bahasa Inggris hukum, berasal dari istilah “money laundering” (ML). Sebagai aturan yang mengatur tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 memberikan pengertian tentang pencucian uang, pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang tersebut. Dalam pengertian ini, unsur-unsur yang dimaksud adalah unsur pelaku, unsur perbuatan melawan hukum serta unsur merupakan hasil tindak pidana. Dewasa ini istilah money laundering sudah lazim digunakan untuk menggambarkan usaha-usaha yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum untuk melegalisasi uang “kotor”, yang diperoleh dari hasil tindak pidana.

Sedangkan pengertian tindak pidana pencucian uang dapat dilihat dalam ketentuan Pasal (3), (4), dan (5) Undang-Undang TPPU. Intinya adalah bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan suatu bentuk kejahatan yang dilakukan baik oleh seseorang dan/atau korporasi dengan sengaja menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan itu, termasuk juga yang menerima dan mengusainya.

Secara umum pencucian uang diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan untuk merubah hasil kejahatan seperti dari korupsi, kejahatan narkotika, perjudian, penyelundupan, dan kejahatan serius lainnya, sehingga hasil kejahatan tersebut menjadi nampak seperti hasil dari kegiatan yang sah karena asal-usulnya sudah disamarkan atau disembunyikan. Lebih jauh dalam tulisannya, Yenti ganarsih mencoba untuk menguatkan pendapatnya tentang tindak pidana pencucian uang dengan memberikan pengertian. Kejahatan pencucian uang diartikan juga sebagai sebagai suatu perbuatan memanfaatkan atau menikmati harta kekayaan yang diketahui atau diduganya berasal dari hasil kejahatan.

  1. Sejarah Tindak Pidana Pencucian Uang

Tindak pidana pencucian uang yang kita kenal saat ini, tentunya tidak terjadi begitu saja, namun ada perjalanan panjang sejarah yang terjadi hingga pencucian uang bisa menjadi suatu tindak pidana. Praktek pencucian uang, jauh sebelumnya telah banyak dilakukan praktek pencucian uang oleh para pelaku kejahatan, karena kejahatan itu sendiri hampir sama tuanya dengan peradaban manusia. Namun belum adanya pengaturan mengenai kriminalisasi pencucian uang selama ini, membuat tindak pidana pencucian uang seolah-olah menjadi barang baru dalam dunia kejahatan.

Istilah money laundering berasal dari kegiatan para mafia yang membeli perusahaan pencucian pakaian (laundromat) sebagai tempat menginvestasikan atau mencampur hasil kejahatan mereka yang sangat besar dari hasil pemerasan, penjualan ilegal minuman keras, perjudian dan prostitusi. Selanjutnya untuk menguraikan sejarah dari praktek pencucian uang disebutkan, bahwa istilah tersebut merujuk kepada tindakan mafia obat bius, narkotika, perjudian dan prostitusi, yang memproses uang hasil kejahatannya untuk dicampur dengan bisnis yang sah, seperti yang dilakukan Al Capoen pada tahun 1930an. Tindakan ini bertujuan agar uang hasil kejahatan tersebut menjadi bersih atau nampak sebagai uang yang sah. Kelompok kriminal ini melakukan diversifikasi usaha atas hasil kejahatannya dengan cara mengambil alih aktivitas bisnis legal tertentu dengan hasil keuntungan keuangan yang sangat tinggi.

Masuknya money laundering ke Indonesia, adalah melalui pengaruh dunia internasional yang sangat besar terhadap perkembangan pembangunan politik hukum nasional. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan pengaturan tindak pidana pencucian uang di Indonesia. Sebagai negara berkembang, maka Indonesia dinilai lemah jika berhadapan dengan kejahatan, terutama kejahatan kerah putih (white collar crime). Maka perjalanan pengaturan regulasi tentang tindak pidana pencucian uang di Indonesia, mengalami perubahan yang menurut pembuat undang-undang (pemerintah) perlu penyempurnaan aturan.

Sebagai negara yang bergantung kepada negera maju, tentunya sangat mudah bagi dunia internasional untuk menciptakan suatu tekanan yang berujung pada penciptaan suatu regulasi. Begitu juga dengan penciptaan undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana pencucian uang, sedikit banyaknya dipengaruhi oleh hubungan politik internasional Indonesia. Sehingga dapat dikatakan arah pembangunan politik hukum nasional Indonesia, banyak dipengaruhi oleh asing.

  1. Kriminalisasi Pencucian Uang

Tindak pidana pencucian uang tentunya membawa dampak yang sangat buruk bagi perkembangan sauatu bangsa didunia, sehingga pemberantasan tindak pidana pencucian uang menjadi suat perhatian yang serius bagi negara-nagara di dunia. Begitu besarnya dampak negatif yang ditimbulkannya oleh tindak pidana pencucian uang terhadap perekonomian suatu negara, sehingga negara-negara di dunia dan organisasi internasional merasa tergugah dan termotivasi untuk menaruh perhatian yang lebih serius terhadap pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Hal ini tidak lain karena tindak pidana pencucian uang (money laundering) tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi sistem perekonomian, dan pengaruhnya tersebut merupakan dampak negatif bagi perekonomian itu sendiri.

Tiada suatu perbuatan tidak dapat dipidana tanpa ada aturan atau peraturan yang mengaturnya. Begitu juga dengan perbuatan pencucian uang yang terjadi sebelum ada aturan yang menyatakan bahwa perbuatan itu dapat dipidana. Maka perbuatan tersebut tidaklah dapat dipidana. Sehingga akibatnya orang dengan bebas tanpa ada aturan hukum yang melarangnya, dapat membersihkan uang hasil kejahatan yang dilakukan sebelumnya. Perkembangan dunia kejahatan yang begitu pesat, baik ditingkat local maupun di level internasional memaksa perubahan politik hukum nasional Indonesia untuk membuat suatu regulasi yang mumpuni.

Pengaturan mengenai tindak pidana pencucian uang di Indonesia dimulai untuk pertama kalinya melalui Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam salah satu konsiderannya disebutkan, kejahatan yang menghasilkan harta kekayaan dalam jumlah yang besar semakin meningkat, baik kejahatan yang dilakukan dalam batas wilayah Negara Republik Indonesia maupun yang melintasi batas wilayah negara. Selain itu, di Indonesia pembentukan undang-undang anti pencucian uang disebabkan masuknya Indonesia ke dalam daftar Non Cooperative Countries and Territories (NCCTs) oleh FATF pada bulan Juni 2001.

Sebagaimana yang telah penulis singgung pada bagian pendahuluan, bahwa pergerakan politik internasional membawa dampak pengaruh yang cukup besar terhadap perubahan politik hukum nasional dalam pembangunan hukum yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Sehingga, untuk pertamakali dilakukan pengkriminalisasian perbuatan pencucian uang di Indonesia adalah akibat adanya tekanan dari dunia internasional. Sebagai suatu negara yang terus berkembang dan tergabung dalam politik internasional, tentunya tekanan-tekanan seperti ini tidak bisa dihindari.

Asal mula kriminalisasi uang yang diperoleh atau berasal dari tindak pidana adalah untuk menghadapi tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh organisasi kejahatan (organized crime). Penegakan hukum terhadap tindak pidana pencucian uang yang tentunya juga terhadap kejahatan asalnya, masih juga menyisakan permasalahan meskipun Indonesia melakukan kriminalisasi pencucian uang sudah sejak tahun 2002. Sejak diundangkannya UU No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, maka Indonesia telah mengkriminalisasi TPPU. Namun upaya mengkriminalisasi pencucian uang menjadi sebuah tindak pidana, tidak lah berjalan mulus sesuai rencana dari pemerintah. Banyak para sarjana di Indonesia yang menilai undang-undang tentang upaya memerangi tindak pidana pencucian uang banyak menuai kritik, mereka beranggapan bahwa upaya kriminalisasi pencucian uang yang dilakukan oleh pemerintah telah lari dari filosofi dan teori tentang tujuan kriminalisasi tindak pidana pencucian uang tersebut. Ketentuan perundangan yang justru memicu penerapan menjadi lari dari filosofi dan teori tentang tujuan dikriminalisasi pencucian uang dan pengertian pencucian uang sebagai kejahatan itu sendiri. Dengan dikriminalisai pencucian uang sebagai suatu bentuk “delict” maka secara universal telah muncul new crime dan sekaligus new strategy combating predicate offense.

Beradasarkan rumusan delik yang diatur dalam pasal 3, 4, dan 5 sangat jelas terlihat kekhususan karakteristik tindak pidana pencucian uang, jika dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Hal lain yang berkaitan dengan rumusan delik tersebut juga menuntut setipa warga negara untuk peduli, dan selalu mencurigai jika ada orang atau badan hukum yang ingin melakukan transaksi keuangan dalam jumlah yang besar, karena tidak tertutup kemungkinan bisa menjadi pelaku tindak pidana pencucian uang. Tindak pidana pencucian uang terdapat karakteristik khusus yang berbeda dengan tindak pidana yang lain yaitu bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan follow up crime, sedangkan hasil kejahatan yang diproses pencucian uang disebut sebagai core crimes atau predicate offence atau ada yang menyebut sebagai unlawful activity.

Sejak dikriminalisasi pertamakali hingga saat ini sudah ada 3 (tiga) perubahan terhadap undang-undang yang mengatur tentang perbuatan tindak pidana pencucian uang, yaitu:

  1. Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang;
  2. Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 Tengang Perubahan Atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang;
  3. Undang-Undang No. 8 tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

 

  1. Tipologi Tindak Pidana Pencucian Uang

Perkembangan ilmu pengetahuan, membawa dapak pada perubahan pola kehidupan sosial kemasyarakatan, melalui yang namanya perubahan tekhnologi dan inovasi. Hampir tidak ada aspek kehidupan yang tidak yang tidak tersentuh oleh perkembangan tekhnologi saat ini. Terlebih lagi saat ini dunia tengah mencanangkan kemajuan tekhnologi komunikasi yang berbasi digital, yang lebih dikenal dengan istilah revolusi digital 5.0, dimana dalam pengamatan beberapa ahli tekhnologi kondisi ini kedepannya akan membuat orang tidak bisa terlepas dari perangkat-perangkat digital dalam kehidupan sehari-harinya.

Seperti kejahatan perdagangan narkotika misalnya, jika sebelum tahun abad millennium dimulai semua kegiatan dalam kejahatan perdagangan narkotika dilakukan secara manual, dan pelaku kejahatan itu sendiri harus berperan langsung dalam mengontrol bisnis yang dijalani nya tersebut. Bedakan denga napa yang terjadi dengan saat ini, bisnis haram perdagangan narkotika bisa dilakukan oleh para bandar dari balik jeruji besi. Hal ini adalah akibat dampak dari perubahan tekhnologi komunikasi yang ada saat ini. Bagaimana dengan hukum yang mengatur tentang itu, tentunya akan sedikit tertinggal dari kejahatan itu sendiri.

Undang-Undang tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang terakhir kali terjadi perubahan adalah melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 2010. Dalam Undang-Undang tersebut, hanya mengatur tentang tiga hal cara dalam melakukan kejahatan atau tindak pidana pencucian uang, yaitu melalui Placement, Layering dan Integration. Memang dari sisi unsur kejahatan yang dilakukan masih bisa dijangkau dengan regulasi yang ada tentang pemberantasan tindak pidana pencucian uang, akan tetapi ada celah-celah yang tentunya akan menjadi peluang dari para pelaku kejahatan untuk tetap mengamankan asetnya.

Ada beberapa pola yang dilakukan para pelaku tindak pidana pencucian uang yang lazim dilakukan oleh para penikmat bisnis haram, yang diantaranya adalah sebagai berikut:

  1. Membuka rekening dengan system pick up, ini dilakukan bagi mereka yang masih belum diproses secara hukum;
  2. Penggunaa rekening bagi para nara pidana dalam lapas;
  1. Jual beli rekening;
  2. Pinjam rekening antar napi;
  3. Buka rekening atas nama orang lain;
  4. Buka rekening dengan identitas palsu;
  5. Menguasai e-banking rekening orang lain;
  6. Menguasai m-banking rekening orang lai;
  7. Dsb.
  1. Penggunaan invoice palsu;
  2. Melakukan jual beli fiktif.
  3. Menukarkan dengan mata uang asing;
  4. Disimpan dalam save deposit box; dsb.

Penguatan hukum tentunya bukan sekedar bagaimana hukum itu digunakan, akan tetapi lebih kepada penciptaan regulasi yang bisa menjangkau aspek-aspek kejahatan untuk beberapa tahun setelah undang-undang itu disahkan. Karena secara mekanisme undang-undang tidak mungkin untuk dilakukan pembahasan setiap saat terjadi kebuntuan akan aturan hukum yang ada. Penguatan seperti yang dimaksud tersebut hanya bisa dilakukan dengan melakukan perenungan berfikir secara hakekat hukum yang akan terjadi, atau sering juga disebut dengan berkontemplasi dalam bahasa filsafat. Baik dalam ruang lingkup filsafat ilmu maupun dalam ruang lingkup filsafat hukum

Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya. Sedangkan menurut John Stuart Mill, keadilan adalah istilah yang diberikan kepada aturan-aturan yang melindungi klaim-klaim untuk memegang janji, diberlakukan dengan setara, dan sebagainya. Teori keadilan sangat banyak melahirkan pemikir-pemikir hukum yang mempengaruhi perkembangan ilmu hukum. Teori-teori Hukum Alam sejak Socretes hingga Francois Geny, tetap mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori Hukum Alam mengutamakan “the search for justice”.

Hukum sebagai pengemban nilai keadilan, menurut Radbruch menjadi ukuran bagi adil tidak adilnya tata hukum. Tidak hanya itu, nilai keadilan juga menjadi dasar dari hukum sebagai hukum. Dengan demikian, keadilan memiliki sifat normatif sekaligus konstitutif bagi hukum. Ia normatif, karena berfungsi sebagai prasyarat trasendental yang mendasari tiap hukum positif yang bermartabat.

Setiap hukum yang dilaksanakan ada tuntutan untuk keadilan, maka hukum tanpa keadilan akan sia-sia sehingga hukum tidak lagi berharga dihadapan masyarakat, hukum bersifat objektif berlaku bagi semua orang, sedangkan keadilan bersifat subjektif, maka menggabungkan antara hukum dan keadilan itu bukan merupakan suatu hal yang gampang. Sementara itu Socrates mengatakan, hukum bukanlah aturan yang dibuat untuk melanggengkan nafsu orang kuat (kontra filsuf ionia), bukan pula aturan untuk memenuhi naluri hedonisme diri (kontra kaum sofis). Hukum, sejatinya adalah tatanan objektif untuk mencapai kebajikan dan keadilan umum.

Hukum, berdasarkan sifatnya, mestilah bermoral dan tatanan sosial yang tidak bermoral bukan lah tatanan hukum, mengasumsikan sebuah tatanan moral absolut, yakni berlaku kapan pun dan dimana pun. Suatu nilai keadilan tidak akan dapat di capai tanpa ada instrumen yang mampu menerapkan nilai-nilai keadilan sebagaimana yang di harap oleh hukum, dan tujuan penciptaan hukum itu sendiri.

  1. Upaya Pemerintah Memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang

Masuknya Indonesia sebagai salah satu negara kedalam daftar NCCTs yang diterbitkan oleh FATF, adalah salah satu bentuk desakan dunia internasional kepada Indonesia yang belum mengeluarkan kebijakan kriminalisasi terhadap tindak pidana pencucian uang. Masuknya suatu negara pada daftar NCCTs tersebut dapat menimbulkan akibat buruk terhadap sistem keuangan negara yang bersangkutan, misalnya meningkatnya biaya transaksi keuangan dalam melakukan perdagangan internasional khususnya terhadap negara maju atau penolakan negara lain atas Letter of Credit (L/C) yang diterbitkan oleh perbankan di negara yang terkena counter-measures tersebut. Masuknya Indonesia ke dalam daftar NCCTs tersebut disebabkan Indonesia dinilai memenuhi (fully met) 9 (sembilan) kriteria dan sebagian memenuhi (partially met) untuk 4 (empat) kriteria.

Penilaian yang dilakukan oleh FATF untuk memasukan Indonesia kedalam daftar NCCTs, tentu berdasarkan kepada kriteria-kriteria tertentu yang telah mereka tetapkan. Menurut FATF ada beberapa kelemahan-kelemahan yang mereka indentifikasi dari Indonesia. Hal ini berkontribusi cukup besar untuk memasukan Indonesia kedalam kelompok NCCTs.

Berdasarkan kelemahan-kelemahan yang diidentifikasi oleh FATF tersebut maka Indonesia dimasukan kedalam daftar NCCTs, secara garis besar kelemahan tersebut adalah sebagai berikut:

    • belum adanya undang-undang yang mengkriminalisasi kejahatan pencucian uang;
    • belum dibentuknya Financial Intelligence Unit (FIU);
    • belum adanya kewajiban pelaporan transaksi keuangan mencurigakan yang disampaikanke FIU;
    • ketentuan mengenai Know Your Customer principles baru saja diperkenalkan, namun masih hanya yang terkait dengan sektor perbankan;
    • dan kurangnya kerjasama internasional.

Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, sebuah regulasi yang mengatur tentang kriminalisasi pencucian uang di Indonesia tidak hanya berhenti sampai disitu. Perubahan-perubahan yang dilakukan dengan tujuan untuk perbaikan regulasi tersebut terus ditingkatkan. Oleh karena itu, berdasarkan keinginan untuk perubahan yang lebih baik maka lahirlah Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 Tengang Perubahan Atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Perubahan ini dimaksudkan agar upaya pencegahan terhadap tindak pidana pencucian uang dapat berjalan lebih efktif dan sesuai dengan standar internasional. Perubahan yang demikian menunjukan bahwa perkembangan regulasi yang mengatur tentang tindak pidana pencucian uang di Indonesia tidak terlepas dari tekanan dunia internasional.

Untuk lebih memberdayakan rezim anti pencucian uang di Indonesia, maka upaya yang harus dilakukan adalah memperkuat empat pilar utama yang satu sama lain sangat erat kaitannya. Adapun ke-empat pilar utama tersebut adalah:

  1. Pertama, hukum dan peraturan perundang-undangan;
  2. Kedua, sistem teknologi informasi dan sumber daya manusia;
  3. Ketiga, analisis dan kepatuhan;
  4. Keempat, kerjasama domestik dan internasional.

 

  1. Kesimpulan

Berbicara mengenai muatan filsafat hukum dalam dalam suatu peraturan perundang-undangan, tentunya tidak seperti menakar adanya gula dalam kopi atau the. Akan tetapi haruslah menjadikan filsafat ilmu atau filsafat hukum itu sendiri sebagai parameter untuk melihat keberadaannya. Maka, secara tidak langsung masyarakat juga harus mengerti tentang filsafat, karena tidak mungkin memberikan suatu penilaian tanpa mengetahui apa yang harus dinilai.

Para pembuat undang-undang, setidaknya mestilah memahami filsafat ilmu karena tanpa memahami filsafat mustahil baginya dapat berkontemplasi untuk memikirkan suatu aturan hukum yang berdaya guna bagi masyarakat. Karena hukum yang tidak berdaya guna, hanya akan menjadi suatu Kesia-siaan belaka. Oleh karena itu penciptaan hukum mestilah memperhatikan kaidah-kaidah, sebagaimana yang ditetapkan dalam norma.

Menurut penulis, jika kita sandarkan pemikiran pada teori keadilan, maka Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 belumlah mengedepankan rasa keadilan sebagaimana yang banyak kemukakan oleh ahli hukum. Karena Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 lebih mengedapankan tentang kepastian hukum, yang salah satu tujuannya adalah melakukan upaya pengembalian kerugian negara akibat tindak pidana korupsi yang marak terjadi. Sedangkan meurut pendapat para filusuf tentang suatu aturan hukum yang baik, mestilah mengedepankan keadilan. Bahkan Gustav Radbruch dalam pendapatnya mengatakan, jika dalam suatu aturan hukum terdapat benturan antara keadilan dan kepastian hukum, maka keadilan haruslah diutamakan penerapannya dibandingkan dengan kepastian hukum.

Pembangunan hukum memang tidak pernah bisa dipisahkan dengn kekkuasaan dan politik, karena adalah sesuatu yang mustahil bisa melakukan pembangunan hukum tanpa dilandasi dengan kekuasaan dan politik. Pembangunan politik hukum nasional Indonesia, dalam penciptaan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 sangat besar dipengaruhi oleh politik internasional. Sebagai negara berkembang, yang masih mempunyai ketergantungan dengan negara lain, apalagi ketrgantungan itu dalam jumlah yang massif maka akan sangat mudah untuk dipengaruhi oleh politik internasional. Pertama kali dalam penciptaan Undang-Undang tetang pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia adalah akibat dimasukannya Indonesia kedalam daftar NCCTs oleh Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering, karena Indonesia belum memiliki undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

 

 

 


Akses riaubisnis.co Via Mobile m.riaubisnis.co
TULIS KOMENTAR
BERITA LAINNYA

KANTOR PUSAT:
Jl. Arifin Ahmad/Paus Ujung (Komp. Embun Pagi), B 13, Pekanbaru, Riau – Indonesia
CP : 0812 6812 3180 | 0853 7524 1980
Email: [email protected]