Srikandi yang Ditumpas Orde Baru


Kamis,29 September 2016 - 11:13:02 WIB
Srikandi yang Ditumpas Orde Baru (foto: int)

Sri Sulistyowati mencium ketidakberesan ketika pesawat Garuda yang ia tumpangi tak bisa mendarat di Bandara Kemayoran, Jakarta, 2 Oktober 1965. Pesawat yang bertolak dari Langsa, Aceh, itu diminta untuk berbelok ke arah Palembang, Sumatera Selatan. 

“Dari Palembang diperintahkan mendarat ke Bandara Halim Perdanakusuma. Pemberitahuannya karena berlaku jam malam,” kata Sri kepada CNNIndonesia.com, Kamis (1/9/2016).

Sri yang ketika itu menjadi wartawan koran ekonomi Warta Bhakti baru saja melakukan liputan panjang sejak 11 September hingga 1 Oktober 1965. Sri meliput safari Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang dipimpin Wakil Perdana Menteri I Soebandrio. 

Kekhawatiran Sri kian menjadi saat seorang petugas memberikan peringatan. “Jangan pulang ke rumah, sudah diduduki.” Sri resah bukan main. “Salahku apa? Bagaimana nasib anakku?”

Tanpa berbekal informasi yang jelas, Sri menuju rumahnya di Bungur Besar, Jakarta Pusat. “Situasi Jakarta sunyi dan mencekam,” kata dia. 

Saat berjalan menuju lokasi rumahnya, seorang tetangga mencegat, memberitahukan Sri dicari-cari dan rumahnya telah disegel pasukan militer. “Untung saja anak saya telah diselamatkan tetangga,” ujar Sri. 

Sri lalu berjalan kaki menuju rumah mertuanya di Sunda Kelapa, Jakarta Utara, menembus malam yang sunyi dan dingin. Dia memilih menelusuri gang-gang sempit untuk menghindari patroli malam. 

Belakangan, Sri mengetahui dia dikaitkan dengan peristiwa penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan satu perwira Angkatan Darat yang dilakukan kelompok bernama Gerakan 30 September. 

Sri menduga dia menjadi sasaran karena kedekatannya dengan Sukarno, serta aktivitasnya membantu mendirikan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) di Jakarta.

Ketika itu pemberitaan berbagai media, terutama Berita Yudha dan Angkatan Bersenjatamilik militer, menyebutkan Gerwani ikut andil di balik kematian para perwira AD. Gerwani disebut-sebut mencungkil mata dan menyileti para korban. 

Sri pun memutuskan kabur dan menitipkan anak kepada mertua. Ia memilih tetap di Jakarta dan menyambung hidup dengan berdagang cabai, bawang, dan tomat di Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Namun penyamarannya terbongkar pada 1968. Dia ditangkap pasukan Batalion Lintas Udara 18 di Blitar, Jawa Timur, 18 Juli 1968.

Sejak itu Sri melewati masa panjang menjadi tahanan tanpa diadili. Berbagai siksaan dia alami selama dipenjara.

Penyiksaan pertama ia terima dari dua tentara yang menindih tubuhnya dengan bangku kayu dari bahan jati. “Saya pendarahan dari hidung, mulut, sampai satu bulan,” kata Sri.

Selama penyiksaan yang terus berulang, Sri selalu berdoa agar tak mengalami pemerkosaan seperti temannya, perempuan tahanan politik yang diperkosa tujuh petugas. “Mereka biadab sekali. Tidak ada manusia yang sebiadab mereka,” ujarnya.

Geliat Gerwani

Sri terlibat dalam kegiatan Gerwani sejak pindah ke Jakarta tahun 1958. Ketika itu Gerwani yang berdiri sejak 4 Juni 1950, sedang melebarkan sayap di ibu kota. “Saya membantu mengembangkan lembaga pendidikan Taman Kanak-kanak Melati,” kata Sri. 

TK Melati bukan cuma lembaga pendidikan, tapi juga tempat penitipan anak bagi ibu-ibu yang bekerja. Nama Melati dipilih karena dianggap memiliki filosofi yang pas.

“Perempuan saat itu ibarat kuncup melati, masih belum berkembang dan tertinggal jauh. Kami hendak mengejar ketertinggalan itu lewat pendidikan,” kata Sri. 

Dalam buku Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia karya peneliti Belanda Saskia E. Wieringa, sebelum 1965 telah berdiri 43 TK Melati di berbagai kecamatan di Jakarta. Sementara di seluruh Indonesia, tercatat terdapat 1.478 TK Melati hingga tahun 1964.

Ini juga cara cerdik Gerwani meraup massa. Pendirian TK Melati sekaligus menjadi ajang menarik simpati para perempuan. “Orang tua yang mengantarkan anak-anaknya otomatis bertanya mengenai organisasi, kemudian masuk Gerwani,” kata Sri. 

Gerwani juga giat memberantas buta huruf di kalangan dewasa dan orang tua di pelosok daerah. Tinah, bukan nama sebenarnya, adalah salah satu eks Gerwani yang aktif memberantas buta huruf di Blitar. Guru SD itu mengajar warga yang buta huruf setiap sore. Ia melakukannya dengan sukarela, tanpa bayaran.

“Setelah masa penjajahan, masih banyak rakyat yang buta huruf, dan aktivis Gerwani bekerja untuk memberantasnya,” kata Tinah yang berhasil meloloskan diri dari kejaran aparat dan bebas hidup di luar bui.

Pada akhir pekan, para aktivis Gerwani menjalankan praktik turun ke bawah (turba), yakni mengunjungi masyarakat untuk melaksanakan berbagai kegiatan sosial. Ini pun tanpa bayaran. Para anggota Gerwani kerap mengeluarkan biaya sendiri untuk ongkos perjalanan.

Ketika turba, Sri yang memiliki pengetahuan tentang tanaman herbal, biasa berdiskusi dengan dukun beranak di kampung-kampung.

“Saya juga kerap berdiskusi dengan petani dan buruh di pinggiran Jakarta,” kata Sri yang bersuamikan aktivis PKI. 

Program kemasyarakatan Gerwani yang menyentuh langsung rakyat itu membuat banyak orang berbondong-bondong tertarik menjadi anggota.

Gerwani juga mendukung antipoligami dan perubahan undang-undang pernikahan. Hal itu menjadi magnet besar bagi kaum hawa seperti Manismar, perempuan asal Bukittinggi, Sumatera Barat.

“Saya bergabung dengan Gerwani karena ada diskriminasi, poligami, dan kawin di bawah umur. Saya menentang itu semua. Gerwani memperjuangkan emansipasi perempuan,” kata Manismar yang dulu menjabat Sekretaris Seksi Pembelaan Hak-hak Wanita dan Anak Gerwani Sumatera Barat, ketika ditemui CNNIndonesia.com di rumahnya di Bukittinggi, Selasa (19/9).

Penelitian Saskia Wieringa menunjukkan, Gerwani berhasil menjadi organisasi perempuan terbesar yang pernah eksis di Indonesia. Anggotanya pada 1965 diperkirakan berjumlah 1,5 juta sampai 1,75 juta di seluruh Indonesia.

Menjelang 1965, Gerwani makin aktif terlibat dalam dunia politik dan dekat dengan Partai Komunis Indonesia. Gerwani pun mendukung pembebasan Irian Barat, reforma agraria, dan konfrontasi Malaysia yang dikomandoi Sukarno.

Hubungan yang kian erat dengan PKI membuat pendiri Gerwani, SK Trimurti, meninggalkan organisasi itu. Sebab Trimurti menghendaki organisasi yang setia pada jalur perjuangan isu feminisme ketimbang politik.

Namun, Trimurti kalah oleh kekuatan aktivis-aktivis Gerwani yang juga merangkap anggota PKI. “Dia menganggap PKI terlalu keras dan memilih mundur (dari Gerwani),” kata Saskia.

Kedekatan Gerwani dengan PKI terlihat pada perayaan ulang tahun Gerwani ke-15 pada 4 Juni 1965. Ketua PKI Dipa Nusantara Aidit hadir di antara massa yang memenuhi Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, untuk memperingati hari jadi Gerwani.

Gerwani bahkan berencana mengambil keputusan untuk bergabung dengan PKI pada Kongres IV mereka, Desember 1965. Namun tiga bulan menjelang Kongres, meletus Gerakan 30 September yang dalam sekejap mengakhiri riwayat PKI maupun Gerwani.

Binasa

Gerwani yang terseret arus perebutan politik, hancur bersama PKI pasca-G30S. Para kadernya dituduh mencungkil mata dan menyileti alat vital tujuh perwira Angkatan Darat, sembari menari dan menyanyi dalam keadaan telanjang di Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Tuduhan lantas melebar tak hanya kepada aktivis Gerwani, tapi kepada setiap orang yang dekat dengan Bung Karno. Nani Nurani misalnya. Penyanyi di Istana Cipanas favorit Bung Karno itu difitnah memiliki berpeti-peti alat pencukil mata.

“Entah dari mana munculnya tuduhan itu. Itu pun hanya tuduhan karena mereka sama sekali tak bisa membuktikan adanya peti pencungkil mata,” kata Nani yang kemudian mencari keadilan lewat jalur hukum.

Propaganda dan agitasi terhadap Gerwani makin kuat dengan diumumkannya organisasi itu sebagai underbouw PKI. Gerwani pun dinyatakan terlarang pada Maret 1966. “Tuduhan itu tidak benar karena Gerwani secara struktural bukan bagian dari PKI,” kata Sri.


Berbagai propaganda berhasil membuat Gerwani lengket dengan cap tak bermoral, asusila, dan tak manusiawi. Gencarnya propaganda membuat kebencian terhadap Gerwani menyebar ke seantero negeri.

“Propaganda itu cara yang efisien melumpuhkan PKI. Apabila perempuan di dalam organisasi buruk, maka dianggap buruklah organisasinya,” kata Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan, Mariana Aminuddin. 

 

Setelah Soeharto berkuasa dua puluhan tahun, muncul artikel mengagetkan yang dibuat sejarawan Cornell University, Ben Anderson. Tulisan itu terbit di majalah Indonesia nomor 43, April 1987, berjudul How Did the Generals Die?

Ben mengungkapkan fakta hasil visum et repertum atas jenazah tujuh perwira yang dikerjakan oleh Tim Autopsi Rumah Sakit Pemerintah Angkatan Darat Gatot Subroto. Hasil visum et repertum itu menunjukkan enam jenderal dan satu letnan di Lubang Buaya meninggal karena tertembak. 

Hasil visum menunjukkan adanya luka, kemungkinan karena terbentur dinding-dinding sumur di mana jenazah para perwira ditemukan. Visum juga menyatakan tak ada luka sayatan pada kelamin para korban. Namun temuan itu bak angin lalu, dan Gerwani tetap diriwayatkan sebagai perempuan keji dari zaman ke zaman.

Dibenci Feodal

Para aktivis Gerwani yang memperjuangkan nasib perempuan kerap menyebut diri mereka sebagai Srikandi, prajurit perang perempuan dalam pewayangan. Srikandi, secara harfiah, juga berarti perempuan gagah berani.

“Masyarakat mengenal mereka sebagai Srikandi, representasi perempuan yang militan, mandiri dan pejuang,” kata Saskia.

Label Srikandi ini, kata Saskia, juga disematkan kepada para pejuang perempuan periode revolusi kemerdekaan. Sekretaris Dewan Pimpinan Pusat Gerwani, Sulami, misalnya adalah salah satu tokoh yang berjuang di medan tempur melawan Belanda pada 1945-1949.

Namun, menurut Saskia dari hasil riset dan analisis perspektif gender, kaum konservatif di Indonesia tak terlalu menyukai garis perjuangan Gerwani. Apalagi Gerwani sangat gigih mendukung antipoligami. Apabila ada kader yang berpoligami, para aktivis langsung turun tangan untuk memisahkan. 

Gerwani membuat marah kalangan konservatif dan feodal di Indonesia. Representasi perempuan ideal menurut kaum konservatif adalah karakter perempuan seperti tokoh wayang Subadra. 

Subadra adalah karakter anggun, lembut, tenang, setia dan patuh pada suami. Ia sosok ideal priyayi putri Jawa. 

“Langkah Gerwani memasuki wilayah yang selama ini dianggap milik laki-laki menyebabkan ketakutan di kalangan tradisional dan konservatif, sehingga menyediakan ladang subur bagi kampanye Soeharto pada 1965,” kata Sakia.

Kondisi ini membuat gerakan perempuan pada masa Orde Baru mati suri. Di bawah Suharto, pengawasan melekat diberlakukan kepada organisasi perempuan. 

Hanya ada tiga organisasi perempuan yang eksis, yaitu Dharma Wanita (organisasi istri pegawai negeri), Dharma Pertiwi (organisasi istri anggota militer) dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). 

Sementara kepada para perempuan yang kritis, stigma Gerwani sebagai perempuan kejam dan asusila, dilekatkan.

“Setiap perempuan yang kritis dicap sebagai Gerwani, atau ketika mereka berani berjuang, akan dihilangkan dan dibunuh,” kata Mariana. 

Namun pasca-Reformasi, setelah Soeharto tumbang, para korban Tragedi 1965 mulai berani muncul, termasuk aktivis Gerwani yang bersuara berbagi cerita tentang penderitaan yang mereka alami.

Hanya tersisa sedikit eks Gerwani yang kini masih hidup. Lewat kisah mereka, terlihat jelas sejarah diukir oleh penguasa.(*)

Parl-3180


Akses riaubisnis.co Via Mobile m.riaubisnis.co
TULIS KOMENTAR
BERITA LAINNYA

KANTOR PUSAT:
Jl. Arifin Ahmad/Paus Ujung (Komp. Embun Pagi), B 13, Pekanbaru, Riau – Indonesia
CP : 0812 6812 3180 | 0853 7524 1980
Email: [email protected]