Sembako Akan Dibebankan Pajak, Bagaimana Dengan Rakyat Miskin?


Kamis,10 Juni 2021 - 08:58:01 WIB
Sembako  Akan Dibebankan Pajak, Bagaimana Dengan Rakyat Miskin? sumber foto cnbcindonesia.com

Pemerintah terus cari cara untuk menambal defisit fiskal yang bengkak. Salah satunya dengan rencana menaikkan tarif pajak di sana-sini. Meskipun kebijakan ini bisa meningkatkan pendapatan negara tetapi harus diwaspadai betul karena bisa berujung kontraproduktif dengan impian menggenjot pertumbuhan ekonomi.

Dilansir dari laman cnbcindonesia.com, tahun pandemi 2020 pemerintah Indonesia membukukan defisit anggaran sebesar 6,09% PDB. Memang lebih rendah dari patokan awal di 6,3% PDB. Namun jika dibandingkan dengan periode sebelumnya di bawah 2% jelas pemerintah tekor sekali.

Melebarnya defisit diakibatkan oleh penurunan pendapatan dari perpajakan yang dibarengi dengan peningkatan belanja pemerintah untuk kebutuhan penyelamatan ekonomi. Penurunan output perekonomian akibat resesi juga membuat tingkat defisit melebar.

Tahun 2021 kebijakan fiskal kontrasiklis masih ditempuh pemerintah. APBN tahun 2021 tak begitu banyak berubah dari 2020. Namun alokasi untuk anggaran belanja Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) ditingkatkan 22%.

Fokus anggaran PEN pun terlihat bergeser. Jika tahun 2020 alokasi terbesarnya adalah untuk belanja perlindungan sosial, tahun ini yang mendapat jatah terbesar adalah sektor kesehatan dan dukungan untuk UMKM.

Defisit anggaran tahun ini juga dipatok di Rp 1.000 triliun atau setara dengan 5,7% PDB dengan asumsi pertumbuhan ekonomi bisa mencapai laju sebelum pandemi Covid-19 terjadi.

Jelas defisit yang melebar tidak bisa dibiarkan begitu saja. Selama ini untuk menambal defisit pemerintah mengandalkan utang. Baik keluar negeri maupun ke dalam negeri.

Peningkatan utang pemerintah selama pandemi Covid-19 sangatlah fantastis. Dilihat dari rasio utang pemerintah terhadap PDB tembus 38,5% di tahun 2020. Padahal setahun sebelumnya masih di 30,5% PDB atau naik 8 poin persentase.

Menerbitkan surat utang global berdenominasi mata uang asing bisa menjadi pilihan apalagi saat kondisi likuiditas global melimpah. Namun adanya sentimen dan peluang bank sentral AS The Federal Reserves (The Fed) akan melakukan tapering menjadi risiko yang diperhitungkan pemerintah.

Sementara jika menerbitkan utang di pasar domestik dikhawatirkan akan semakin memperburuk kondisi perekonomian karena ada efek crowding out. Pemerintah juga tak bisa terus menerus mengandalkan BI untuk ikut berpartisipasi dalam pembiayaan APBN lewat mekanisme above the line maupun below the line karena bagaimanapun juga koordinasi di antara keduanya harus dijaga agar tetap prudent.

Salah satu opsi yang tersedia adalah menggenjot penerimaan negara jika belanja pemerintah tak ingin direm lewat peningkatan tarif pajak. Tren beberapa tahun terakhir untuk meningkatkan pendapatan negara dilakukan pemerintah dengan menaikkan cukai hasil tembakau (CHT).

Namun untuk 2021 ada beberapa opsi terkait kebijakan perpajakan yang belakangan ini diwacanakan. Pertama adalah pengenaan tarif pajak minimum (alternative minimum tax/AMT) untuk perusahaan merugi sebesar 1% pendapatan brutonya dan meningkatkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 12%.

Untuk isu yang kedua juga tertuang dalam revisi draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Dalam Pasal 4A draft RUU KUP tersebut, pemerintah menghapus beberapa jenis barang yang tidak dikenai PPN.

Beberapa kelompok barang tersebut diantaranya barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, tidak termasuk hasil pertambangan batubara. Menariknya sembako yang dulunya tidak dikenakan PPN rencananya bakal dipajaki juga.

Barang kebutuhan pokok yang diwacanakan bakal kena PPN tersebut antara lain beras dan gabah; jagung; sagu; kedelai; garam konsumsi; daging; telur; susu; buah-buahan; sayur-sayuran; ubi-ubian; bumbu-bumbuan; dan gula konsumsi.

Sedangkan hasil pertambangan dan pengeboran yang dimaksud adalah emas, batu bara, hasil mineral bumi lainnya, serta minyak dan gas bumi. Kebijakan tersebut jika disetujui maka akan berdampak terhadap inflasi karena PPN sendiri merupakan pajak yang dikenakan atas transaksi barang dan jasa di suatu perekonomian.

Selama pandemi Covid-19, tingkat inflasi di Indonesia cenderung rendah. Bahkan sempat mencatatkan deflasi tiga bulan beruntun tahun lalu. Inflasi tetap di bawah sasaran bank sentral dan pemerintah 3% plus minus 1 poin persentase.

Terakhir di bulan Mei, inflasi tercatat mencapai 1,68% (yoy) naik dari 1,42% (yoy) dari bulan sebelumnya. Inflasi inti yang mencerminkan daya beli masyarakat juga mulai naik dari 1,18% (yoy) di bulan April menjadi 1,37% (yoy) didukung dengan penyaluran Tunjangan Hari Raya (THR) dan berbagai stimulus lain yang mendorong masyarakat untuk belanja.

Bahana Sekuritas dalam risetnya mengkalkulasi potensi kenaikan Indeks Harga Konsumen (IHK) jika PPN dinaikkan. Hasilnya jika PPN naik menjadi 12% maka akan ada tanbahan pada IHK sebesar 0,2% secara tahunan.

Namun jika pemerintah menaikkan PPN dari 4 kelompok barang dan 17 jasa yang selama ini dikecualikan termasuk makanan dan sektor jasa pariwisata dari 0% menjadi 12% maka akan ada tambahan terhadap IHK sebesar 0,8% secara tahunan. Ini dampak yang ditimbulkan terhadap inflasi.

Dengan penambahan sebesar itu inflasi kemungkinan besar masih berada di sasaran target. Hanya saja jika sembako yang selama ini dikecualikan bakal dipajaki juga rasanya kok hanya akan menyulitkan masyarakat terutama golongan bawah yang benar-benar merasakan penurunan daya beli.

Ambil contoh saja beras yang merupakan sumber karbohidrat utama masyarakat Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) beras merupakan komoditas dengan bobot terbesar penyumbang indeks konsumsi untuk kelompok makanan, minuman dan tembakau.

Persentase bobot beras terhadap sub-kelompok makanan mencapai 16,6%. Sementara untuk kelompok makanan, minuman dan tembakau mencapai 13,3% dan kontribusinya terhadap total indeks konsumsi mencapai 3,3%. Itu artinya beras menjadi penyumbang terbesar konsumsi masyarakat Tanah Air.

Apabila beras pun sampai dipajaki maka daya beli masyarakat semakin tergerus. Apalagi beras juga menjadi penyumbang terbesar garis kemiskinan di dalam negeri.

Jika rokok sudah dinaikkan cukainya dan sekarang giliran beras maka yang jadi pertanyaan adalah apakah benar pemerintah punya tujuan solid untuk mengentaskan masalah kemiskinan?

Pertanyaan lain yang muncul dari wacana kebijakan ini sebenarnya kepada siapa pemerintah sebenarnya berpihak? Seperti diketahui bersama, konsumsi adalah tulang punggung pendapatan nasional RI, maka kebijakan kenaikan PPN terutama untuk sembako adalah suatu tindakan yang kontraproduktif dengan jargon pro-growth pemerintah yang selama ini digaungkan. (GA)

 


Akses riaubisnis.co Via Mobile m.riaubisnis.co
TULIS KOMENTAR
BERITA LAINNYA

KANTOR PUSAT:
Jl. Arifin Ahmad/Paus Ujung (Komp. Embun Pagi), B 13, Pekanbaru, Riau – Indonesia
CP : 0812 6812 3180 | 0853 7524 1980
Email: [email protected]