Kenapa Gugatan Saya Cacat Hukum? Ini Sebabnya!

Selasa,17 Desember 2019 - 16:46:09 wib
Kenapa Gugatan Saya Cacat Hukum? Ini Sebabnya!
Parlindungan, SH. MH. CLA (Advokat, Konsultan Hukum, & Auditor Hukum) (foto: riaubisnis)

Pertanyaan:

Pak Parlindungan. Saya mau bertanya. Sebelumnya, saya mengajukan gugatan perdata perbuatan melawan hukum (PMH) terhadap salah satu perusahaan di salah satu Pengadilan Negeri di Riau. Dalam gugatan tersebut, saya tidak melibatkan pengacara untuk membantu menangani perkara saya. Dalam putusan pengadilan, gugatan saya dinilai cacat hukum. Yang saya tanyakan, “Kenapa gugatan saya dinilai cacat hukum?” Padahal saya yakin, gugatan saya sudah sempurna. Terima kasih, Pak Parlindungan atas jawabannya.

Muhammad Fahrizal di Pekanbaru.

Jawaban:

Saya ucapkan terima kasih atas pertanyaan yang Bapak ajukan ke kantor hukum kami. Sebelum menjawab pertanyaan yang Bapak ajukan, saya akan jelaskan terlebih dahulu tentang “Gugatan” itu apa? Menurut Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia, ‘Gugatan’ adalah, segala tuntutan hak yang mengandung sengketa. Kalau kita telaah secara sederhana, gugatan itu berisi mengenai tuntutan hak dari pihak yang berkepentingan untuk mendapatkan perlindungan hukum karena dirinya menderita kerugian akibat perbuatan pihak lain.

Sama halnya yang yang dijelaskan Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata: tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Yahya mendefinisikan, gugatan perdata sebagai gugatan yang mengandung sengketa di antara para pihak yang berperkara dengan posisi para pihak: a. Yang mengajukan penyelesaian sengketa disebut sebagai penggugat (plaintiff); b. Yang ditarik sebagai lawan berkedudukan sebagai tergugat (defendant).

Agar gugatan dinilai tidak ditolak, dalam teknik penyusunan gugatan harus benar-benar diperhatikan mengenai persyaratan gugatan tersebut, yakni syarat formil dan syarat materiil sesuai dengan Pasal 8 nomor 3 Rv (Reglement of de Rechtsvordering). Apabila suatu gugatan mengandung kecacatan baik formil maupun materiil, maka gugatan tersebut akan ditolak atau tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard/NO).

Sedangkan mengenai ‘dikabulkannya gugatan”, menurut Yahya Harahap adalah, dikabulkannya suatu gugatan adalah dengan syarat bila dalil gugatnya dapat dibuktikan oleh penggugat sesuai alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)/Pasal 164 Het Herzien Inlandsch Reglement (HIR). Dikabulkannya gugatan ini pun ada yang dikabulkan sebagian, ada yang dikabulkan seluruhnya, ditentukan oleh pertimbangan majelis hakim.

Yahya Harahap menjelaskan, bahwa hal-hal yang penting dirumuskan dalam gugatan adalah sebagai berikut: a. Syarat Formil, yakni gugatan didaftarkan di Pengadilan Negeri sesuai dengan kewenangan relatif, diberi tanggal, ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya, serta adanya identitas para pihak; b Syarat Materil, yakni dasar gugatan atau dasar tuntutan (fundamentum petendi), dan tuntutan (petitum) penggugat yang nantinya diputuskan oleh hakim berdasarkan gugatan atau dasar tuntutan tersebut.

Akibat Lain Gugatan Cacat Hukum

1. Gugatan Obscuur Libel atau gugatan penggugat tidak jelas/kabur. Hubungan antara gugatan dengan gugatan yang Obscuur Libel itu sendiri terletak dari ketidaksesuaian isi fakta hukum yang terjadi (fundamentum petendi) dengan tuntutan (petitum), sebab apabila seseorang membuat gugatan yang tidak memenuhi syarat, maka akibatnya adalah gugatan itu disebut sebagai gugatan yang Obscuur Libel atau tidak jelas sehingga menyebabkan gugatan “tidak dapat diterima”.

2. Posita (fundamentum petendi) tidak menjelaskan dasar hukum (rechtgrond) dan kejadian yang mendasari gugatan atau ada dasar hukum tetapi tidak menjelaskan fakta kejadian atau sebaliknya. Dalil gugatan yang demikian tentunya tidak memenuhi asal jelas dan tegas (een duidelijke en bepaalde conclusie) sebagaimana diatur pasal 8 Rv;

3. Tidak jelas objek yang disengketakan, seperti tidak menyebut letak lokasi, tidak jelas batas, ukuran dan luasannya, dan atau tidak ditemukan objek sengketa. Hal ini sebagaimana diperkuat putusan Mahkamah Agung No. 1149 K/Sip/1975 tanggal 17 April 1971 yang menyatakan "karena suat gugatan tidak menyebut dengan jelas letak tanah sengketa, gugatan tidak dapat diterima";

4. Penggabungan dua atau beberapa gugatan yang masing-masing berdiri sendiri. Terkadang untuk menghemat segala sesuatunya, penggugat dapat melakukan penggabungan atas beberapa pihak yang dianggap sebagai pihak tergugat (akumulasi subjektif) atau menggabungkan bebepa gugatan terhadap seorang tergugat (akumulasi objektif). Meskipun dibenarkan menurut hukum acara, hendaknya sebagai penggugat harus memahami bahwasanya penggabungan boleh dilakukan apabila ada hubungan yang sangat erat dan mendasar antara satu sama lainnya. Bila penggabungan dilakukan secara campur aduk maka tentunya gugatan akan bertentangan dengan tertib beracara. Sebagai contoh, misalnya menggabungan antara gugatan mengenai wanprestasi menjadi gugatan perbuatan melawan hukum.

Kembali merujuk Yahya Harahap pada artikel Arti Gugatan Dikabulkan, Ditolak, dan Tidak Dapat Diterima, bahwa ada berbagai cacat formil yang mungkin melekat pada gugatan, antara lain, gugatan yang ditandatangani kuasa berdasarkan surat kuasa yang tidak memenuhi syarat yang digariskan Pasal 123 ayat (1) HIR. Adapun arti gugatan yang cacat formil menurut Yahya adalah:

1. Gugatan tidak memiliki dasar hukum;

2. Gugatan error in persona dalam bentuk diskualifikasi atau plurium litis consortium;

3. Gugatan mengandung cacat atau obscuur libel; atau

4. Gugatan melanggar yurisdiksi (kompetensi) absolute atau relatif dan sebagainya.

Sebelum memahami lebih lanjut mengenai putusan majelis hakim terkait pencantuman biaya perkara dalam petitum gugatan bukan merupakan ultra petita, maka pertama kita harus memahami terlebih dahulu apa itu ultra petita.

Asas ultra petita atau sering disebut sebagai asasiu dex non ultra petita atau ultra petita non cognoscitur diatur dalam Pasal 178 ayat (2) dan ayat (3) HIR serta dalam Pasal 189 ayat (2) dan ayat (3) Rbg jo. Pasal 67 huruf c UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang artinya jika hakim dalam menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau meluluskan lebih dari yang dimintakan (petitum), maka putusan tersebut merupakan putusan yang ultra vires dan harus dinyatakan cacat meskipun putusan tersebut didasarkan pada itikad baik maupun telah sesusai dengan kepentingan umum.(*)

 

Bagi yang ingin mengajukan pertanyaan seputar hukum, dapat mengirimkan pertanyaan ke email: [email protected]

Kantor Hukum Parlindungan, SH. MH. CLA & Rekan

(Advokat, Konsultan Hukum, dan Auditor Hukum)

Jl. Soekarno-Hatta, No. 88, Kecamatan Tampan, Kota Pekanbaru

Handphone/WA: 081268123180

 

 

BERITA LAINNYA