Kajian Tindak Pidana Umum dan Khusus

Pengaturan Sanksi Pidana Menurut KUHP dan di Luar KUHP

Selasa,14 September 2021 - 16:11:44 wib
Pengaturan Sanksi Pidana Menurut KUHP dan di Luar KUHP
Parlindungan, SH. MH. CLA (Advokat, Konsultan Hukum, & Auditor Hukum) (foto: riaubisnis)

Oleh Parlindungan, SH MH

(mahasiswa Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Universitas Islam Bandung dan juga Advokat/Pengacara dan Konsultan Hukum)

Tindak Pidana dan KUHP

Secara awam, makna “tindak pidana” dapat diasumsikan sebagai “perbuatan/tingkah laku seseorang yang melanggar serta memiliki unsur kesalahan/kejahatan dan akibat perbuatannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan berlaku. Akibat perbuatannya dimaksud merugikan orang lain serta mengganggu ketertiban umum dan ada ancaman sanksi pidana baginya.”

Artinya, ketika perbuatannya yang dilarang telah ditetapkan sebelumnya oleh peraturan perundang-undangan, maka sanksi pidana yang berlaku dalam peraturan perundang-undangan tersebut akan diberlakukan. Kalau perbuatannya yang mengakibatkan merugikan orang lain, lalu tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan yang mengatur atas larangan yang dilakukannya (kekosongan peraturan), maka sanksi baginya tidak ada.

Dapat disimpulkan, “Perbuatan pidana dapat dibuktikan kepada sifat perbuatannya saja, yakni ketika ada melanggar aturan yang dilarang, maka akan ada ancaman pidana baginya.” Prinsip hukumnya adalah, pemberlakukan sanksi pidana bagi yang melanggar, harus tanpa pandang bulu. Untuk menentukan seseorang dinyatakan bersalah dan harus menanggung sanksi pidana atas perbuatannya, ditentukan oleh putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap (incracht).

Secara pengertian, “tindak pidana” dalam kepustakaan hukum pidana disamakan dengan “delik” yang berasal dari bahasa Latin, yakni “delictum”, namun kalau dalam bahasa Belanda disebut “strafbaarfeit”. Ketika ditafsir menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindak pidana dikenal dengan istilah “strafbaarfeit”. Ketika merumuskan suatu peraturan perundang-undangan, selalu  mempergunakan istilah “peristiwa pidana” atau “tindakan pidana” atau “perbuatan pidana”.

Setiap permasalahan pidana, merupakan bagian mutlak dari hukum pidana, karena pada dasar­nya hukum pidana memuat dua hal, yakni pertama, syarat-syarat untuk memungkinkan penjatuhan sanksi pidana/menyatukan perbuatan dan pertanggungjawaban pidana (pandangan monistik), kedua, pelaksanaan pidananya itu sendiri.”

Jenis Sanksi Pidana Menurut KUHP

Jenis hukuman atau bentuk ancaman hukuman pidana dapat dilihat dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yakni tentang Pidana Pokok dan Pidana Tambahan. Urutan pidana dalam Pasal 10 KUHP ini dibuat menurut beratnya tindak pidana, dimana yang terberat disebut terlebih dahulu.

“Pidana pokok” terdiri atas pidana mati, kurungan, denda, dan pidana tutupan. Sedangkan “pidana tambahan” terdiri atas pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.

Secara umum, sanksi pidana yang dikenal masyarakat adalah tentang pidana pokok, yakni:

1. Pidana Mati

Berbicara mengenai “pidana mati”, merupakan sanksi yang terberat di antara semua jenis pidana yang ada dan juga merupakan jenis pidana tertua, terberat, dan bahkan ada yang menyebutkan, jenis pidana mati ini merupakan bentuk sanksi pidana yang melanggar hak asasi manusia (HAM), atau sering dikatakan sebagai jenis pidana yang paling kejam.

Karena ketentuan pidana mati ini tertuang di beberapa pasal-pasal dalam KUHP dan belum ada pencabutan tentang ketentuan ini, maka sanksi pidana mati hingga saat ini masih diberlakukan.

Di Indonesia, kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana mati dapat dilihat pada ketentuan kriteria kejahatan-kejahatan yang dilakukan mengancam keamanan negara, seperti dinyatakan dalam Pasal 104 KUHP, Pasal 111 ayat 2, Pasal 124 ayat 3 juncto 129.

Kemudian, dapat dilihat juga dalam kriteria kejahatan pembunuhan terhadap orang tertentu dan atau dilakukan dengan faktor-faktor yang dikategorikan pemberatan, seperti yang diatur dalam Pasal 104 ayat 3 KUHP, dan Pasal 340 KUHP.

Lalu, sanksi pidana mati juga dapat diberlakukan pada kriteria kejahatan terhadap harta benda yang disertai faktor sangat memberatkan, seperti yang diatur dalam Pasal 365 ayat 4, Pasal 368 ayat 2 KUHP. Selanjutnya, sanksi serupa dikategorikan terhadap kejahatan-kejahatan pembajakan laut, sungai, dan pantai seperti dinyatakan Pasal 444 KUHP.

2. Pidana Penjara

Pidana penjara sebagai bentuk wujud pengurangan atau perampasan/hilangnya kemerdekaan seseorang, sehingga ia tidak bebas seperti halnya masyarakat luas. Pidana perjara ini memiliki tujuan lain sebagai bentuk pembinaan dan pembimbingan terpidana sebagai alasan agar setelah dinyatakan bebas menjalani hukuman penjara, ia menjadi masyarakat yang baik dan berguna bagi siapa saja.

Secara pengaturan, hukuman pidana penjara ini secara pelaksanaan lamanya ancaman atau penjatuhan pidana penjara berdasarkan lamanya, yakni apakah seumur hidup atau hanya untuk sementara. Hukuman pidana penjara sementara itu sekurang-kurangnya satu hari dan selama-lamanya lima belas tahun berturut-turut.

Hukuman penjara sementara boleh bagi terpidana yang akan dihukum mati, penjara seumur hidup, dan penjara sementara. Kemudian, lamanya hukuman sementara itu tidak boleh lebih dari dua puluh tahun.

3. Pidana Kurungan

Khusus pidana kurungan ini, berdasarkan Pasal 18 KUHP, dapat dilakukan minimal satu hari dan maksimal satu tahun dan dapat diperpanjang menjadi satu tahun empat bulan jika terdapat atau terjadi gabungan perbuatan pidana/delik, berulang kali melakukan perbuatan pidana/delik dan terkena rumusan ketentuan Pasal 52 KUHP.

Pidana kurungan ini merupakan pidana yang lebih ringan daripada pidana penjara dalam hal bagi pelaku perbuatan pidana terhadap pelanggaran-pelanggaran yang sebagaimana telah diatur dalam Buku III KUHP serta bagi mereka yang melakukan kejahatan-kejahatan yang tidak disengaja sebagaimana yang telah diatur dalam Buku II KUHP.

Menurut sifatnya, pidana kurungan ini sama dengan pidana penjara, yakni sama-sama berupa pidana hilang kemerdekaan bergerak. Berdasarkan Pasal 28 KUHP, tempat menjalani pidana penjara adalah sama dengan tempat menjalani pidana kurungan, walaupun ada sedikit perbedaan, yaitu harus dipisah.

Antara “pidana kurungan” dan “pidana penjara” baru akan dilaksanakan pada hari putusan hakim yang mempunyai kekuatan tetap (incracht) sebagai bentuk eksekusi kejaksaan dengan cara melakukan tindakan paksa memasukkan terpidana ke dalam lembaga pemasyarakatan (LP).

Di antara perbedaan-perbedaan pidana penjara dan pidana kurungan adalah, pidana kurungan dijatuhkan pada kejahatan-kejahatan kealpaan (culpa), pidana penjara dijatuhkan untuk kejahatan-kejahatan kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa).

Pidana kurungan ada dua macam, yaitu kurungan principal dan subsidair (pengganti denda), pada pidana penjara tidak mengenal hal ini. Orang yang dipidana kurungan mempunyai hak memperbaiki keadaannya dalam lembaga pemasyarakatan atas biaya sendiri, sementara pada pidana penjara sama sekali tidak ada.

4. Pidana Denda

Sanksi bagi terpidana yang diancam dengan pidana denda dalam KUHP terbilang sedikit sekali, seperti dalam Buku II KUHP hanya terdapat satu pasal, yakni Pasal 403 KUHP. Sedangkan dalam pelanggaran pada Buku III KUHP terdapat 40 pasal dari pasal-pasal tentang Pelanggaran.

Ketentuan Pasal 30 ayat 2 KUHP, apabila denda tidak dibayar harus diganti dengan pidana kurungan. Sedangkan Pasal 30 ayat 3 menyatakan, lamanya pidana kurungan adalah minimal satu hari dan maksimal enam bulan. Ayat 4-nya menyatakan, “pidana denda adalah pidana yang berupa harta benda yang jumlah ancaman pidananya pada umumnya relatif ringan, yang mana dirumuskan sebagai pokok pidana alternatif dari pidana penjara dan denda.”

Mengenai pengganti denda itu diperhitungkan ketika, putusan denda setengan rupiah atau kurang lamanya ditetapkan satu hari, kemudian putusan denda yang lebih dari setengah rupiah ditetapkan kurungan bagi tiap-tiap setengah rupiah dan kelebihannya tidak lebih dari satu hari lamanya.

Selanjutnya Pasal 30 ayat (5) dinyatakan, bahwa maksimal pidana kurungan yang enam bulan diperberat menjadi maksimal delapan bulan, jika terdapat gabungan tindak pidana, gabungan tindak pidana atau terkena Pasal 52 KUHP.

Menurut Pasal 31 KUHP, terpidana dapat menjalani pidana kurungan sebagai pengganti denda utamanya, jika si pelaku tindak pidana sadar, bahwa ia tidak mampu membayar denda. Sifat yang ditujukan kepada pribadi terpidana menjadi kabur karena KUHP tidak menentukan secara eksplisit siapa yang harus membayar denda. Hal ini memberikan kemungkinan kepada orang lain untuk membayar denda tersebut.

Mengenai pidana denda-denda yang diatur dalam KUHP dinilai sangat rendah, misal, ada Rp.4.500,- (empat ribu lima ratus rupiah) seperti yang dinyatakan Pasal 351 ayat (1) KUHP, yakni, “Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”. Maknanya telah disesuaikan berdasarkan Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.

Dalam ketentuan ini menyatakan, “Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP, kecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kali lipat.” Berdasarkan ketentuan ini, maka pidana denda yang diatur dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP menjadi paling banyak Rp4.500.000,- (empat juta lima ratus ribu rupiah).

5. Pidana Tutupan

Pidana tutupan adalah merupakan jenis pidana yang baru dimasukkan dalam KUHP berada urutan kelima pada jenis-jenis pidana pokok seperti yang dinyatakan Pasal 10 huruf a KUHP. Mengenai sejarah pelaksanaan pidana tutupan ini, hampir tidak pernah ada putusan hakim yang menjatuhkan pidana tutupan.

Sepanjang sejarah praktik hukum di Indonesia, pernah terjadi hanya satu kali hakim menjatuhkan pidana tutupan, yaitu Putusan Mahkamah Tentara Agung RI pada tanggal 27 Mei 1948 dalam hal mengadili para pelaku kejahatan yang dikenal dengan sebutan “Peristiwa 3 Juli 1946”.

Sanksi Pidana di Luar KUHP

Sanksi pidana di luar yang diatur dalam KUHP, merupakan bentuk sanksi pidana khusus. Hukum pidana khusus, secara pemaknaan, merupakan ketentuan-ketentuan tentang hukum pidana yang ada di luar kodifikasi hukum pidana yang diatur KUHP yang ditetapkan untuk golongan orang khusus atau yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan khusus.

Secara hubungan, tujuan dari pidana khusus adalah membahas bentuk-bentuk hukum pidana yang tergolong ke dalam hukum pidana khusus adalah, latar belakang munculnya tindak pidana khusus, karena dalam kenyataan sehari-hari banyak ditemukan delik-delik yang tidak diatur dalam KUHP. Kemudian, adanya perbuatan pidana dan sanksi pidananya relatif ringan, sementara perbuatan pidana itu pada saat ini memiliki dampak yang besar.

Dapat dicontohkan perbuatan pidana khusus, yakni tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Tindak pidana korupsi dilahirkan berdasarkan tindak pidana khusus yang tidak diatur secara spesifik dalam KUHP. Tindak pidana korupsi ini merupakan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang bisa merugikan masyarakat, perekonomian, maupun keuangan negara yang saat membentuk UU ini akibat memiliki dampak buruk yang sangat besar terhadap negara.

Contoh selain itu, ada tindak pidana terorisme. Tindak pidana terorisme ini diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.

Latar belakang lahirnya UU Terorisme ini karena terorisme merupakan aktivitas yang melibatkan unsur kekerasan maupun aktivitas yang melanggar hukum pidana serta menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia. Seperti kita ketahui, aksi terorisme merupakan aktivitas intimidasi penduduk sipil dengan melakukan penculikan maupun pembunuhan.

Salah satu contoh terakhir di antara banyak tindak pidana khusus adalah, tindak pidana informasi dan transaksi elektronik (UU ITE) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. Kejahatan melalui elektronik di sini adalah, perbuatan hukum yang dilakukan dengan memanfaatkan jaringan komputer dan media elektronik lainnya.(*)

Penulis adalah PARLINDUNGAN, SH MH, (seorang mahasiswa Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Universitas Islam Bandung dan juga seorang Advokat/Pengacara dan Konsultan Hukum di Pekanbaru, Provinsi Riau)  

BERITA LAINNYA