Oleh Parlindungan, SH MH CLA
(Mahasiswa Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Universitas Islam Bandung dan juga Advokat/Pengacara dan Konsultan Hukum)
Dalam pengaturannya, “sanksi pidana” tak ubahnya seperti hukuman atas perbuatan pidana yang dilakukan seseorang atau lebih dan bisa juga terhadap badan hukum. Sanksi pidana yang diberikan ini, tentunya memiliki dasar hukum, baik yang diatur secara umum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) ataupun peraturan perundang-undangan yang diatur secara khusus.
Sanksi pidana sebagai hukuman dalam KUHP diatur dalam Pasal 10, yakni Sanksi Pidana Pokok dan Sanksi Pidana Tambahan. Sanksi Pidana Pokok terbagi menjadi 4, yakni: Sanksi hukuman mati; Hukuman penjara; Hukuman kurungan; dan Sanksi hukuman denda. Sedangkan Sanksi Pidana Tambahan terbagi menjadi 3, yakni: Pencabutan hak-hak tertentu; Perampasan barang tertentu; dan Pengumuman keputusan hakim.
A. Hukuman Mati
“Hukuman mati” merupakan hukuman terberat yang dijatuhkan pengadilan sebagai pertanggungjawaban pidana akibat ulah dan perbuatannya. Pelaksanaan eksekusi pidana mati ini, pada saat putusan hakim memvonis hukuman mati terhadap seseorang, tidak langsung dieksekusi, melainkan diberikan waktu 10 tahun sebagai masa percobaan dan sambil melihat kepatutan, bahwa dia harus diabolisi/penghapusan hukuman mati atau justru diganti dengan pidana penjara seumur hidup.
Khusus pidana mati bagi terpidana mati seorang perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa, ditangguhkan sanksinya sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan telah melewati masa 40 hari dan bagi terpidana yang sakit jiwa tersebut dapat dieksekusi pada saat dinyatakan sembuh.
Secara ringkas, teknis melaksanakan/eksekusi mati seseorang, dalam Undang-Undang (UU) Nomor: 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer dinyatakan, pelaksanaan hukuman mati dilakukan dengan cara ditembak sampai mati. Eksekutor pidana mati yang ditunjuk adalah satu bintara, 12 orang tamtama, dan di bawah pimpinan seorang perwira berasal dari satuan kepolisian khusus/Brigade Mobil (Brimob).
Pada saat terpidana ingin mengemukakan sesuatu, maka keterangan atau pesannya bisa disampaikan kepada jaksa tinggi/jaksa. Pada saat akan dihukum mati, jarak antara titik di mana terpidana berada dan tempat regu penembak, tidak boleh melebihi 10 meter dan tidak boleh kurang dari 5 meter. Komandan regu penembak dengan menggunakan pedang memberikan isyarat, dan memerintahkan anggotanya membidik jantung terpidana. Hanya tiga dari 12 anggota regu tembak yang memiliki peluru asli.
Apabila setelah penembakan dilakukan, terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia belum mati, maka komandan regu segera memerintahkan kepada bintara regu penembak untuk melepaskan tembakan pengakhir dengan menekankan ujung laras senjatanya pada kepala terpidana tepat di atas telinganya.
A.1. Dasar Hukum Hukuman Mati
Mengenai pengaturan pidana/hukuman mati di dalam KUHP diatur dalam Pasal 10 KUHP, yakni, pidana terdiri atas: a. Pidana pokok, berupa: Pidana mati; Pidana penjara; Pidana kurungan; Pidana denda; dan Pidana tutupan. b. Pidana tambahan, berupa: Pencabutan hak-hak tertentu; dan Perampasan barang-barang tertentu.
Mengutip beberapa sumber, dari undang-undang yang masih memasukkan hukuman mati sebagai hukuman maksimal yang sebahagian kalangan menginginkan, harus diamandemen karena bertentangan dengan Konstitusi, di antaranya adalah:
A.2. Pasal-pasal Hukuman Mati
Dalam KUHP terdapat 9 (Sembilan) jenis kejahatan yang diancam pidana mati, di antaranya: 1. Makar dengan maksud membunuh Presiden dan wakil Presiden (Pasal 104 KUHP); 2. Melakukan hubungan dengan negara asing sehingga terjadi perang (Pasal 111 ayat (2) KUHP); 3. Penghianatan memberitaukan kepada musuh diwaktu perang (Pasal 124 ayat (3) KUHP); 4. Menghasut dan memudahkan terjadinya huru-hara (Pasal 124 bis KUHP); 5. Pembunuhan berencana terhadap kepala negara sahabat (Pasal 140 ayat (3) KUHP ); 6. Pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP); 7. Pencurian dengan kekerasan secara bersekutu mengakibatkan luka berat atau mati (Pasal 365 ayat (4) KUHP); 8. Pembajakan di laut yang menyebabkan kematian (Pasal 444 KUHP); 9. Kejahatan penerbangan dan sarana penerbangan (Pasal 149 ayat (2), Pasal 149 ayat (2) KUHP).
Sedangkan ancaman pidana mati yang terdapat di luar KUHP (hukum pidana khusus) yang merupakan tindak pidana khusus, antara lain: 1. Tindak Pidana tentang Senjata Api, Amunisi, atau sesuatu Bahan Peledak (UU Nomor: 12/DRT/1951); 2. Tindak Pidana Ekonomi (UU Nomor: 7 /DRT/1955); 3. Tindak Pidana tentang Tenaga Atom (UU Nomor: 3 Tahun 1964); 4. Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika (UU Nomor: 22 Tahun 1997 dan UU Nomor 5 Tahun 1997); 5. Tindak Pidana Korupsi (UU Nomor: 31 Tahun 1999 jo UU Nomor: 20 Tahun 2001); 6. Tindak Pidana terhadap Hak Asasi Manusia (UU Nomor: 26 Tahun 2000); 7. Tindak Pidana Terorisme (Perpu Nomor: 1 Tahun 2002).
B. Penjara Seumur Hidup
“Pidana penjara seumur hidup” adalah, di penjara sepanjang hidup si terpidana berdasarkan putusan/vonis pengadilan melalui majelis hakim yang berkekuatan hukum tetap, dan hukumannya dinyatakan berakhir setelah kematiannya.
Sebahagian masyarakat menyatakan, kalau pidana penjara seumur hidup adalah, terpidana di penjara selama umurnya saat vonis hakim dijatuhkan. Misal, saat vonis hakim menyatakan, si terdakwa dipidana penjara seumur hidup saat usianya 25 tahun, maka si terpidana di penjara selama usianya 25 tahun. Bukan seperti ini yang dimaksudkan, melainkan ia dipidana penjara sampai si terpidana meninggal dunia/wafat.
Kalau dipidana penjara seumur hidupnya seperti yang dimaksudkan (di masa usianya saat divonis hakim dijatuhkan), ini namanya, “dipidana penjara selama waktu tertentu”. Dan kalau dipidana penjara selama waktu tertentu, tidak boleh melebihi dua puluh tahun masa pidananya.
Pelaksanaan penjara seumur hidup pada KUHP juga dibatasi oleh beberapa ketentuan: yakni: Pertama, terpidana penjara seumur hidup merupakan salah satu dari tiga golongan yang tidak boleh diserahi pekerjaan di luar tembok tempat ia menjalani hukuman pidananya; Kedua, kewenangan jaksa untuk menuntut sebuah tindak pidana (statute of limitation) yang diancam hukuman penjara seumur hidup hapus karena daluarsa setelah 18 tahun.
B.1. Dasar Hukum Penjara Seumur Hidup
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat dua variasi hukuman penjara yang diatur dalam Pasal 12 ayat (1) KUHP. Yakni, Pasal 12 ayat (1) KUHP dinyatakan, “Pidana penjara ialah seumur hidup atau selama waktu tertentu”. Dalam Pasal 12 ayat (4) KUHP dinyatakan, “Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh melebihi dua puluh tahun.”
Dalam penerapannya dari hukuman penjara seumur hidup tersebut, seorang nara pidana bisa saja mendapatkan amnesti/pengampunan/pengurangan masa hukuman karena adanya hukum yang bersifat politik. Sehingga si terpidana tersebut mendapatkan kesempatan untuk dapat keringanan hukuman atau hidup bebas dan atau lepas dari masa hukumannya.
B.2. Pasal-pasal Hukuman Seumur Hidup
Perbuatan pidana yang diancam hukuman penjara seumur hidup dalam KUHP adalah: 1. Tindak pidana terhadap keamanan negara (Pasal 104, 106, 107 ayat 2, 108 ayat 2, 111 ayat 2, 124 ayat 2, dan 124 ayat 3); 2. Tindak pidana terhadap negara sahabat dan terhadap kepala negara sahabat (Pasal 140 ayat 3); 3. Tindak pidana yang membahayakan kepentingan umum (Pasal 187, 198, 200, 202 ayat 2], dan 204 ayat 2); Tindak pidana terhadap nyawa (Pasal 339 dan 340); Pencurian yang disertai oleh kekerasan atau ancaman kekerasan (Pasal 365 ayat 4); Pemerasan dan pengancaman (Pasal 368 ayat 2); Tindak pidana pelayaran (Pasal 444); Tindak pidana penerbangan (Pasal 479 sub b, 479 ayat 1 dan 2, dan 479 ayat 1 dan 2).
Pada ketentuan pidana hukuman penjara seumur hidup di luar KUHP, juga terdapat beberapa perbuatan pidana yang diancam, yaitu: 1. Tindak pidana korupsi (Pasal 2 ayat 1 dan 3 UU Nomor: 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi); 2. Tindak pidana terorisme (Pasal 6, 7, 8 9, 10, 10A ayat 1, 14, 15, dan 16 UU No 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme); 3. Tindak pidana terhadap hak asasi manusia (Pasal 36, 37, dan 41 UU Nomor: 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia); 4. Tindak pidana narkotika (Pasal 111 ayat 2, 112 ayat 2, 113 ayat 2, 114 ayat 1, 114 ayat 2, 115 ayat 2, 116 ayat 2, 118 ayat 2, 119 ayat 2, dan 121 ayat 2 UU Nomor: 35 Tahun 2009 tentang Narkotika); 5. Tindak pidana psikotropika (Pasal 59 ayat 2 UU Nomor: 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika).(***)
Penulis adalah PARLINDUNGAN, SH MH CLA
(seorang mahasiswa Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Universitas Islam Bandung dan juga seorang Advokat/Pengacara, Konsultan Hukum, Auditor Hukum, Perancang Naskah Hukum, dan Mediator asal Kota Pekanbaru, Provinsi Riau)
Hp/WhatsApp: 081268123180
email: [email protected]
Facebook: Parlindungan Riau
Instagram: @Parlindungan.Riau
Youtube: Parlindungan Riau